Caracas(MedanPunya) Amerika Serikat (AS), Uni Eropa (UE) dan lebih dari selusin negara Amerika Latin menyatakan penolakan atas hasil pemilihan parlemen di Venezuela yang memenangkan mayoritas sekutu Presiden Nicolas Maduro, Senin (7/12).
Diketahui hanya 31 persen dari 20 juta pemilih yang memenuhi syarat berpartisipasi dalam pemilihan pada Minggu (6/12).
Dewan Pemilihan mengatakan jumlah itu bahkan tidak sampai setengah dari tingkat partisipasi dalam pemilihan kongres sebelumnya pada 2015.
Oposisi telah memboikot pemungutan suara. Mereka menyebut proses demokrasi itu sebagai lelucon yang dibuat untuk mengkonsolidasikan kediktatoran.
Meski demikian, hasil pemungutan suara mengembalikan kongres ke kendali Maduro. Aliansi partai yang disebut Kutub Patriotik Hebat pendukung Maduro memenangkan 68,9 persen suara, menurut angka yang diterbitkan pada Senin (07/12
Padahal ekonomi negara Amerika Latin itu tengah berada dalam kondisi yang sangat buruk. Akibat program sanksi AS yang agresif, dan eksodus migrasi massal.
“Amerika Serikat, bersama dengan banyak negara demokrasi lain di seluruh dunia, mengutuk sandiwara yang gagal memenuhi standar minimum kredibilitas (pemilihan umum) tersebut,” kata Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo dalam sebuah pernyataan pada Senin (7/12).
Diplomat utama UE Josep Borrell, dalam pernyataan yang dikeluarkan atas nama 27 anggota UE mengatakan pemilihan itu gagal memenuhi standar minimum internasional.
“Kurangnya penghormatan terhadap pluralisme politik dan diskualifikasi serta penuntutan terhadap para pemimpin oposisi tidak memungkinkan UE untuk mengakui proses pemilu ini sebagai kredibel, inklusif atau transparan, dan hasilnya sebagai perwakilan dari keinginan rakyat Venezuela,” kata Borrell.
UE mendesak pemerintah Venezuela untuk memulai proses transisi dengan solusi damai, inklusif dan berkelanjutan atas krisis politik yang terjadi. Yaitu dengan melakukan pemilihan presiden dan legislatif yang kredibel, inklusif dan transparan.
Hal itu disampaikan Borrell bertemu dengan para menteri luar negeri negara UE di Brussel pada Senin (8/12).
Pernyataan senada juga dilontarkan sekelompok negara Amerika Latin termasuk Brasil dan Kolombia yang mengeluarkan pernyataan bahwa pemungutan suara itu tidak memiliki legalitas dan legitimasi.
Awal tahun ini, Mahkamah Agung Venezuela memecat sejumlah politisi dari partai oposisi dari partai yang sama atas dugaan terkait dengan Maduro. Hal ini menjadi salah satu alasan utama oposisi menyebut pemungutan suara itu palsu.
Dewan pemilihan juga dibentuk namai tanpa partisipasi oposisi. Maduro menolak untuk mengizinkan adanya pengawas pemilihan yang signifikan.
Sekutu Maduro mengatakan kondisi pemilu sama dengan pemungutan suara parlemen 2015 yang dimenangkan oposisi, dan pemerintah tidak mengindahkan kritik asing.
“Venezuela sudah memiliki Majelis Nasional yang baru,” kata Maduro pada Senin pagi, dalam sambutan di televisi yang lebih senyap dibandingkan perayaan kemenangan yang sering dia lakukan. “Kemenangan yang luar biasa, tanpa keraguan.”
Oposisi pada tahun 2015 memenangkan kendali Majelis Nasional dengan telak. Tetapi Mahkamah Agung yang pro-Maduro memblokir undang-undang paling dasar sekalipun.
Pada 2017, Maduro mengganti parlemen dengan membentuk badan paralel yang sangat kuat yang dikenal sebagai Majelis Konstituante Nasional.
Legislator oposisi tetap menggunakan platform tersebut untuk mengecam Maduro di seluruh dunia atas pelanggaran hak asasi manusia, korupsi, dan salah urus ekonomi, dan terus-menerus mengkritisi kebobrokan di pihak Partai Sosialis.
Pemimpin oposisi Juan Guaido tahun lalu juga menggunakan perannya sebagai ketua Majelis Nasional untuk mengajukan klaim sebagai presiden sah Venezuela, atas dasar pemilihan ulang Maduro 2018 yang dicurangi. Ia mendapatkan pengakuan lebih dari 50 negara termasuk Amerika Serikat.
Pompeo mengatakan pada hari Senin bahwa Washington “akan terus mengakui Presiden Sementara Guaido dan Majelis Nasional yang sah.”
Penguasaan kembali atas kongres akan memberikan Maduro beberapa alat yang berguna untuk memulai kembali perekonomian.
Kondisi ini dapat memberi pemerintahnya lebih banyak legitimasi untuk menawarkan kesepakatan industri minyak, kepada perusahaan yang bersedia mengambil risiko sanksi AS. Mengingat besarnya cadangan minyak negara OPEC ini.
Tetapi bahkan sekutu tradisional seperti Rusia dan China, yang biasanya paling mungkin menentang sanksi AS, telah menunjukkan minat yang minim pada industri minyak disana.
Kurangnya minat dua sekutu Venezuela itu disebabkan kebobrokan pemerintahan selama bertahun-tahun, dan emigrasi para profesionalnya yang paling berbakat.
Pihak oposisi meminta simpatisan untuk berpartisipasi dalam konsultasi 12 Desember. Jajak pendapat akan digelar untuk menanyakan apakah masyarakat menolak hasil tersebut dan menginginkan perubahan pemerintahan.***kps/mpc/bs