Vienna(MedanPunya) Pengawas nuklir Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyebut Iran kini mulai memproduksi logam uranium, yang berarti pelanggaran terkait batas yang ditetapkan dalam kesepakatan nuklir dengan sejumlah negara di dunia.
Pelanggaran kesepakatan itu dilakukan ketika Iran memperingatkan hampir habisnya waktu bagi pemerintahan Presiden AS Joe Biden untuk menyelamatkan perjanjian tersebut.
Pengawas nuklir PBB, Badan Energi Atom Internasional (IAEA) yang berbasis di Wina, Austria mengatakan dalam sebuah pernyataan pada 8 Februari, mereka “memverifikasi adanya 3,6 gram logam uranium di Pabrik Pembuatan Plat Bahan Bakar Iran di Esfahan”.
Direktur Jenderal IAEA, Rafael Grossi memberi tahu negara-negara anggota IAEA tentang pelanggaran baru Iran itu.
Kabar itu sebenarnya sudah diperkirakan karena bulan lalu Iran sedang meneliti produksi logam uranium, yang bertujuan untuk menyediakan bahan bakar canggih untuk reaktor penelitian di Teheran. Produksi logam uranium diketahui dapat digunakan sebagai komponen dalam senjata nuklir.
Kesepakatan nuklir – yang dicapai pada tahun 2015 antara Iran dengan Amerika Serikat, China, Rusia, Jerman, Prancis dan Inggris – berisi larangan selama 15 tahun untuk “memproduksi atau memperoleh logam plutonium atau uranium atau campurannya”.
Kesepakatan itu menyatakan bahwa setelah 10 tahun, Iran akan diizinkan untuk memulai penelitian tentang produksi bahan bakar berbasis logam uranium “dalam jumlah kecil yang disepakati,” tetapi hanya jika pihak lain telah memberikan persetujuan.
Pelanggaran baru itu terjadi sebulan setelah Iran mengumumkan telah meningkatkan proses pengayaan uraniumnya hingga kemurnian 20 persen, jauh di atas tingkat 3,67 persen yang diizinkan oleh kesepakatan itu, tetapi jauh di bawah jumlah yang dibutuhkan untuk sebuah bom atom.
Pada 2018, mantan Presiden AS Donald Trump menarik AS dari kesepakatan nuklir Iran dan menerapkan kembali sanksi ekonomi yang melumpuhkan terhadap Teheran. Tahun berikutnya, Teheran mengumumkan akan mulai melanggar batasan kesepakatan pada aktivitas nuklir.
Pengganti Trump, Biden, berusaha untuk menghidupkan kembali perjanjian tersebut, tetapi kedua belah pihak tampaknya memiliki kebuntuan mengenai siapa yang harus bertindak lebih dulu.
“Jika mereka ingin Iran kembali pada komitmennya … Amerika Serikat harus sepenuhnya mencabut sanksi, dalam praktiknya dan bukan di atas kertas,” kata pemimpin tertinggi Iran Ali Khamenei, Minggu (7/2).
Ketika Biden ditanyai hari itu juga apakah dia akan menghentikan sanksi untuk meyakinkan Iran agar kembali ke kesepakatan nuklir, Biden menjawab dengan tegas, “Tidak.”
Kemudian pada hari Rabu (10/2), Menteri Luar Negeri Iran Mohammad Javad Zarif mengatakan bahwa “Pemerintah saya akan segera dipaksa untuk mengambil tindakan perbaikan lebih lanjut sebagai tanggapan atas kegagalan Amerika dan Eropa untuk memenuhi komitmen mereka di bawah kesepakatan nuklir,”.***dtc/mpc/bs