Beirut(MedanPunya) Lebanon sedang mengalami krisis ekonomi sangat parah. Hiperinflasi dan kelangkaan berbagai kebutuhan pokok membuat situasi di negara tersebut semakin tak tertahankan bagi warganya.
Perdana Menteri sementara Lebanon Hassan Diab mengatakan negaranya mendekati ledakan sosial di tengah krisis ekonomi yang terus memburuk.
Krisis ekonomi Lebanon ini telah membuat mata uang kehilangan 90% dari nilainya, bank-bank membatasi penarikan dan transfer, hingga 77% rumah tangga tanpa cukup makanan. Dia mengimbau para pemimpin regional dan Internasional untuk membantu menyelamatkan Lebanon.
“Saya menyerukan kepada raja, pangeran, presiden dan pemimpin negara sahabat kita, dan saya menyerukan PBB dan semua organisasi Internasional untuk membantu menyelamatkan Lebanon dari kehancurannya,” kata Diab kepada para duta besar.
Terputusnya pasokan listrik berdampak pada koneksi internet di berbagai kota, toko roti terancam tutup karena kekurangan bahan bakar. Padahal roti menjadi salah satu makanan pokok bagi warga Lebanon .
Sekitar 6 juta penduduk Lebanon sekarang menghabiskan berjam-jam antrean panjang di pom bensin untuk membeli bahan bakar. Mereka berjuang dengan pemadaman listrik hingga 22 jam sehari dan kekurangan medis yang parah.
Pandemi COVID-19 semakin mempersulit situasi, dengan rumah sakit di Lebanon yang dulunya menjadi salah satu yang terbaik di kawasan, harus ikut berjuang. Krisis yang berawal dari akhir tahun 2019 ini diketahui berakar pada praktik korupsi dan salah urus oleh pemerintah selama bertahun-tahun.
Situasi politik di Lebanon yang diwarnai perang sipil antara kelas-kelas politik telah berakumulasi pada penumpukan utang dan tidak bisa berbuat banyak untuk mendorong industri lokal, sehingga memaksa negara ini nyaris semuanya bergantung pada impor.
Seorang ayah dua anak berusia 37 tahun, Ibrahim Arab harus menunggu antrean selama beberapa jam setiap hari untuk membeli bahan bakar bagi taksinya. Diketahui bahwa antrean pembelian bahan bakar di Lebanon bisa mencapai ratusan mobil setiap harinya.
Saat tidak bekerja, Arab mendatangi satu per satu apotek di Beirut untuk mencari susu formula bagi anaknya yang berusia 7 bulan. Dia terpaksa memberikan susu formula apapun hingga bayinya mengalami diare dan muntah karena tidak biasa meminumnya.
“Hidup saya sudah sulit, dan sekarang krisis bensin hanya memperburuknya,” tuturnya.
Untuk bertahan hidup, Arab memiliki pekerjaan kedua di sebuah toko kelontong di Beirut, namun pendapatannya tidak bernilai seperti sebelumnya dengan adanya penurunan nilai mata uang Lebanon.
“Kita sungguh-sungguh berada di neraka,” ujar Firas Abiad selaku Direktur Jenderal Rumah Sakit Universitas Rafik Hariri, yang memimpin perjuangan melawan Corona di Lebanon.
Beberapa pekan terakhir, situasi memburuk dengan terjadinya perkelahian dan bahkan penembakan di pom bensin setempat. Salah satunya di sebuah pom bensin di Tripoli di mana anak pemilik pom bensin tewas.
Banyak warga Lebanon mengecam ketidakmampuan atau keengganan pemimpin mereka untuk bekerja bersama menyelesaikan krisis. Diketahui bahwa usai ledakan dahsyat mengguncang pelabuhan Beirut pada 4 Agustus tahun lalu, para politikus sektarian yang terpecah-pecah tidak mampu mencapai kesepakatan untuk membentuk pemerintahan baru.
Laporan wartawan Al Jazeera, Zeina Khodr, dari Beirut menyebut para politikus terpaku pada perebutan kekuasaan atas siapa yang akan mengendalikan pemerintahan selanjutnya, dan menyalahkan komunitas internasional karena tidak membantu mereka.
“Para politikus ini menyalahkan komunitas internasional karena menuntut pemerintah yang mampu dan bersedia melakukan reformasi finansial dan administratif juga memerangi korupsi yang terjadi sebelum mereka mengucurkan bantuan keuangan,” sebutnya seperti dilansir Al Jazeera.
“Negara ini mengalami krisis selama lebih dari setahun. Tidak ada layanan dasar di negara ini, tidak ada infrastruktur,” imbuhnya.***dtc/mpc/bs