Pemimpin Baru Iran Bersikeras Tidak Mau Negosiasi dengan AS soal Nuklir

Teheran(MedanPunya) Presiden baru Iran, Ebrahim Raisi, menolak kemungkinan bertemu dengan Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden, atau merundingkan program rudal balistik Teheran dan dukungan milisi regional.

Mantan kepala kehakiman garis keras Iran itu berjanji menyelamatkan kesepakatan nuklir 2015, jika sanksi AS ke Iran dicabut karena telah menghancurkan ekonomi negaranya.

“AS berkewajiban untuk mencabut semua sanksi yang menindas terhadap Iran,” kata Ebrahim Raisi.

“Itu tidak bisa dinegosiasikan,” tambah Raisi tentang program rudal balistik Iran.

Dia juga mengesampingkan batasan kemampuan rudal Iran dan dukungan untuk milisi regional. Padahal isu itu merupakan salah satu masalah yang dilihat Washington sebagai kekurangan dari kesepakatan penting yang ingin ditangani oleh pemerintahan Biden.

Armada pesawat serang Teheran sebagian besar berasal dari sebelum Revolusi Islam 1979. Kondisi itu memaksa Iran berinvestasi dalam rudal untuk membendung tetangga regional Arab.

Negara-negara Arab sendiri menurut laporan, telah membeli miliaran dollar dalam perangkat keras militer AS selama bertahun-tahun.

Rudal-rudal itu, dengan batas jangkauan 2.000 kilometer (1.240 mil), dapat menjangkau seluruh Timur Tengah dan pangkalan militer AS di wilayah tersebut.

Iran di sisi lain, juga mendukung kelompok-kelompok militan seperti pemberontak Houthi Yaman dan Hizbullah Lebanon, untuk meningkatkan pengaruhnya dan melawan musuh regionalnya.

Ketika ditanya tentang kemungkinan pertemuan dengan Biden, Raisi menjawab singkat seraya mengerutkan kening dan menatap ke depan, tanpa menjelaskan lebih lanjut, “Tidak”.

Pesaing moderatnya dalam pemilihan minggu lalu, Abdolnasser Hemmati, telah mengisyaratkan selama kampanye bahwa dia mungkin bersedia bertemu Biden.

Komentar oleh Ebrahim Raisi memberikan tinjauan yang blak-blakan, tentang bagaimana Iran mungkin berurusan dengan dunia yang lebih luas, dalam empat tahun masa jabatannya ke depan.

Sementara kekuatan global berupaya memasuki tahap baru dalam negosiasi, untuk menghidupkan kembali kesepakatan nuklir 2015 yang kini berantakan.

Sekretaris pers Gedung Putih Jen Psaki pada Senin (21/6), mengatakan AS tidak memiliki hubungan diplomatik dengan Iran “atau rencana untuk bertemu di tingkat pemimpin, jadi tidak jelas apakah ada yang benar-benar berubah di bidang itu (perjanjian nuklir).”

Dia menambahkan bahwa Biden memandang “pemimpin keputusan Iran adalah pemimpin tertinggi (Ayatollah Ali Khamenei). Itulah yang terjadi sebelum pemilihan; itulah yang terjadi hari ini; dan akan seperti itu kedepannya. ”

Terpilihnya Raisi menempatkan kelompok garis keras ke posisi teratas di seluruh pemerintahan Iran, saat negosiasi di Wina coba dilakukan untuk menyelamatkan kesepakatan nuklir 2015, yang mencabut sanksi AS ke Iran dengan imbalan pembatasan pada program atomnya.

Pada 2018, Donald Trump, Presiden AS saat itu secara sepihak menarik AS dari perjanjian itu, memicu peningkatan ketegangan selama berbulan-bulan di Timur Tengah.

Keputusan Trump, dari waktu ke waktu, membuat Iran mengabaikan setiap batasan. Teheran sekarang memperkaya uranium hingga 60 persen, tingkat tertinggi yang pernah ada, meskipun masih kurang dari 90 persen untuk tingkat senjata.

Para diplomat dari pihak-pihak dalam kesepakatan itu kembali ke ibu kota mereka untuk berkonsultasi setelah putaran negosiasi terakhir pada Minggu (20/6).

Raisi akan menjadi presiden Iran pertama yang menjabat dalam masa sanksi AS ke Iran. Bahkan sebelum mengambil alih kekuasaan, situasi itu memperumit kunjungan kenegaraan dan pidato di forum internasional, seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

Ulama berusia 60 tahun ini disebut sebagai anak didik dari Pemimpin Tertinggi Iran Ayatollah Ali Khamenei.

Dia berhasil menyapu hampir 62 persen dari 28,9 juta suara dalam pemilihan presiden Jumat (18/6), dengan jumlah pemilih terendah dalam sejarah Republik Islam Iran.

Jutaan orang Iran tinggal di rumah menentang pemungutan suara yang mereka anggap menguntungkan Raisi. Pasalnya, sebuah panel di bawah Khamenei mendiskualifikasi kandidat reformis terkemuka dan sekutu Presiden Hassan Rouhani yang relatif moderat.

Provinsi Teheran memiliki jumlah pemilih yang sangat rendah sekitar 34 persen. Jumlah itu kira-kira setengah dari tahun-tahun sebelumnya, dengan banyak tempat pemungutan suara terlihat sepi.***kps/mpc/bs

 

Berikan Komentar:
Exit mobile version