Pengelola Penjara Terkejam Rezim Khmer Merah Meninggal saat Dibui

Phnom Penh(MedanPunya) Mantan petinggi Khmer Merah yang dihukum atas kejahatan terhadap kemanusiaan di Kamboja, Comrade Duch, meninggal dunia.

Sebelum meninggal, ia menjalani hukuman seumur hidup setelah divonis oleh pengadilan yang didukung PBB.

Kaing Guek Eav, yang dikenal sebagai Comrade Duch, mengelola penjara Tuol Sleng yang terkenal kejam sebagai lokasi di mana ribuan orang disiksa dan dibunuh pada akhir 1970-an.

Sebanyak dua juta orang diyakini tewas di bawah rezim Khmer Merah, rezim Komunis-Maois yang menguasai Kamboja dari tahun 1975 hingga 1979.

Duch adalah pemimpin senior Khmer Merah pertama yang dihukum atas kejahatan terhadap kemanusiaan oleh pengadilan yang didukung PBB pada 2010 dan dijatuhi hukuman pada 2012.

Dia meninggal pada hari Rabu (2/9) di usia 77 tahun, kata juru bicara pengadilan, tanpa memberikan rincian penyebab kematiannya. Duch sudah sakit selama bertahun-tahun.

“Duch meninggal pagi ini pada pukul 00.52 waktu setempat, pada 2 September di Rumah Sakit Persahabatan Soviet Khmer. Detail penyebab kematiannya, saya tidak tahu,” kata juru bicara pengadilan Khmer Merah, Neth Pheaktra.

Comrade Duch mengelola penjara S-21, atau yang juga dikenal sebagai Tuol Sleng, tempat penyiksaan paling terkenal selama rezim Khmer Merah.

Diperkirakan setidaknya 15.000 pria, perempuan, dan anak-anak yang dianggap sebagai musuh rezim Khmer Merah telah melewati gerbang penjara yang terletak di luar ibukota Phnom Penh itu.

Kebanyakan dari mereka disiksa, dipaksa untuk mengakui kejahatan terhadap Khmer Merah yang dituduhkan dan kemudian dibunuh di tempat yang kerap disebut ladang pembunuhan.

Para tahanan pada awalnya merupakan pejabat dari pemerintahan lama, orang-orang yang dituduh sebagai kelas menengah dan kemudian juga termasuk anggota Khmer Merah yang dicurigai tidak setia.

Para penjaga, yang pada umumnya seringkali masih remaja, memaksa para narapidana untuk menulis pengakuan rinci atas tuduhan apa pun yang ditujukan pada mereka dan melibatkan teman dan keluarga yang kemudian dipenjara juga.

Mereka yang selamat dari penyiksaan kemudian dibawa ke “ladang pembantaian” di Choeung Ek di mana mereka dibunuh, kadang setelah menggali kuburan massal mereka sendiri.

Kurang dari selusin tahanan selamat dari Tuol Sleng.

Selama persidangan, Duch mengakui dia bertanggung jawab atas S-21 dan meminta maaf atas perannya dalam kejahatan yang terjadi di sana.

Dia kemudian mengklaim bahwa dia hanya mengikuti perintah, namun pengajuan bandingnya atas dasar argumen itu ditolak oleh pengadilan.

Rezim brutal Khmer Merah berkuasa dari tahun 1975-1979 dan merenggut nyawa sekitar dua juta orang.

Rezim yang dipimpin oleh Pol Pot itu berupaya membawa Kamboja kembali ke Abad Pertengahan dan memaksa jutaan orang dari kota untuk bekerja di pertanian komunal di pedesaan.

Mereka menargetkan para “intelektual” yang diidentifikasi sebagai orang yang berkacamata.

Rezim itu digulingkan pada 1979 oleh pasukan Vietnam, namun para pemimpin Khmer Merah melarikan diri dan bersembunyi di wilayah perbatasan yang terpencil.

PBB membantu membentuk pengadilan untuk mengadili para pemimpin Khmer Merah yang masih hidup dan pengadilan itu mulai berfungsi pada tahun 2009.

Hanya tiga orang mantan Khmer Merah yang pernah dihukum – Comrade Duch, kepala negara rezim Khieu Samphan dan deputi pemimpin tertinggi Pol Pot, Nuon Chea.

Duch lahir di awal 1940-an. Dia adalah seorang guru namun bergabung dengan partai komunis dan aktivisme sayap kirinya menyebabkan perselisihan dengan pihak berwenang.

Ketika perang Vietnam mengancam akan meluas ke negara tetangga Kamboja, Duch bergabung dengan pemberontak komunis Khmer Merah di bawah pimpinan Pol Pot.

Setelah pemberontak mengambil kendali pada tahun 1975, ia menjadi direktur Tuol Sleng.

Ketika invasi Vietnam memaksa Khmer Merah keluar dari kekuasaan pada tahun 1979, Comrade Duch melarikan diri bersama dengan para pemimpin yang digulingkan ke pedesaan dekat perbatasan Thailand.

Hidup dengan nama palsu, dia kemudian diidentifikasi oleh seorang jurnalis pada 1999. Dalam wawancara-wawancara berikutnya, dia mengakui kekejaman di Tuol Sleng tetapi mengatakan perintah datang dari komite pusat Khmer Merah.

“Siapapun yang ditangkap harus mati. Itu aturan partai kita,” katanya. “Kami memegang tanggung jawab untuk menginterogasi dan memberikan pengakuan kepada komite pusat partai.”

Sepuluh tahun kemudian, saat dihadapkan dengan pengadilan yang didukung PBB, dia menjelaskan dirinya “sangat menyesal” dan meminta maaf kepada para kerabat korbannya.

Pada hari-hari terakhir persidangannya, dia meminta untuk dibebaskan, dengan mengatakan bahwa dia bukan anggota senior hierarki Khmer Merah.

Kerabat korbannya mengatakan hal itu berupa penghinaan atas klaim penyesalannya.***dtc/mpc/bs

Berikan Komentar:
Exit mobile version