Jakarta(MedanPunya) Proyek Kereta Cepat Jakarta Bandung (KCJB) kembali jadi sasaran kritik publik. Pemerintah baru-baru ini memutuskan untuk membuka opsi utang yang timbul dari proyek ini bisa dijamin keuangan negara.
Keputusan pemerintah Indonesia untuk bisa menjamin pembayaran utang Kereta Cepat Jakarta Bandung disahkan melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 89 tahun 2023 yang diteken Sri Mulyani.
Pemberian jaminan pemerintah untuk utang proyek KCJB sejatinya mengingkari janji Presiden Joko Widodo (Jokowi) sebelumnya, karena awalnya dijanjikan tidak akan menggunakan APBN dan tidak ada jaminan dari negara.
Ekonom sekaligus Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengungkapkan apabila dilihat dari beberapa indikasi, maka proyek KCJB sudah masuk dalam kategori jebakan utang (debt trap) China.
“Sudah masuk kategori jebakan utang. Pertama, indikasi proyek yang berbiaya mahal ditanggung APBN,” beber Bhima, Jumat (22/9).
Sedari awal, China dalam proposalnya juga memberikan garansi kalau kereta peluru yang ditawarkannya tidak akan membebani ABPN Indonesia. Belakangan, komitmen itu kemudian tidak ditepati China maupun pemerintah Indonesia sendiri.
Tawaran China yang memberikan iming-iming pembangunan kereta cepat tanpa APBN itu pula yang juga jadi alasan Indonesia mendepak Jepang. Ini karena Negeri Sakura sejak awal sudah memprediksi sulit merealisasikan KCJB tanpa jaminan dari negara.
Bhima juga menyoroti keputusan pemerintah Indonesia yang dengan mudahnya menyanggupi tuntutan China yang meminta pembayaran utang dan bunga mendapatkan jaminan negara.
Dampak dari keputusan ini tentunya bakal merugikan keuangan negara, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Ini karena PT Kereta Api Indonesia (Persero) atau KAI yang menjadi pemimpin konsorsium BUMN dalam struktur pemegang saham mayoritas di PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC), adalah perusahaan pelat merah yang sahamnya 100 persen dikuasai negara.
Terlebih KAI adalah perusahaan strategis yang bisnisnya melayani hajat hidup orang banyak di sektor transportasi publik. Pemerintah bisa saja terus berdalih kalau beban utang nantinya diserahkan ke BUMN sebagai entitas bisnis, bukan dibebankan ke APBN secara langsung.
Dengan kata lain, bila keuangan KAI terbebani akibat menanggung pembayaran utang dan bunga proyek KCJB ke China, mau tidak mau pemerintah akan langsung turun tangan mengucurkan bantuan, seperti melalui mekanisme penyertaan modal negara (PMN) dari APBN.
“Meski pemerintah bilang bentuknya adalah penjaminan utang tapi memicu risiko kontijensi ketika KAI hadapi kesulitan pembayaran bunga dan pokok utang,” ucap Bhima.
“Seolah utangnya kereta cepat adalah utang BUMN, bukan utang pemerintah padahal ini adalah indikasi hidden debt atau utang tersembunyi yang sama sama bebankan keuangan negara secara tidak langsung,” tambah dia.
Sri Mulyani membeberkan, alasan dirinya menyetujui utang ke China dalam proyek KCJB dijamin keuangan negara adalah karena sudah melalui audit yang dilakukan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
Dalam audit dua lembaga pemeriksa keuangan negara itu, salah satu rekomendasinya adalah pemerintah perlu membantu penyelesaian masalah cost overrun.
Yang mana akibat dari pembengkakan biaya, maka KCIC harus mengajukan utang baru ke China. Di sisi lain, Beijing juga meminta kepastian dan jaminan pembayaran utang pokok plus bunga yang diajukan.
“Cost overrun sudah diaudit oleh BPKP dan BPK dan di situ ada rekomendasi untuk penanganan cost overrun,” kata Sri Mulyani.
Alasan lainnya pemerintah menjamin pinjaman ke China di proyek tersebut, yakni lantaran KAI diproyeksikan akan sanggup membayar utang.
Salah satu tambahan pendapatan untuk KAI adalah penyediaan jasa pengiriman logistik angkutan batu bara dari sesama BUMN di lintas Sumatera, PT Bukit Asam (Persero) Tbk.
“Kita waktu itu dalam komite yang terdiri dari menko, Pak Luhut, menteri perhubungan, menteri BUMN, menteri keuangan menetapkan bahwa PT KAI memiliki tambahan pendapatan,” ucap Sri Mulyani.***kps/mpc/bs