Medan(MedanPunya) Dua orang pegawai apotek di Medan, Okta Rina Sari dan Sukma Rizkiyanti Hasibuan, divonis bebas oleh majelis hakim. Keduanya sempat didakwa dan dituntut 2 tahun penjara karena dinilai salah memberi obat hingga mengakibatkan seorang dirawat di rumah sakit.
Dilihat dari situs SIPP PN Medan, Rabu (3/2), keduanya mulai menjalani sidang pada Agustus 2020. Keduanya didakwa melanggar Pasal 360 ayat (1) atau ayat (2) KUHP.
Dalam dakwaannya, jaksa menyebut kasus ini berawal pada 6 November 2018. Saat itu, warga yang belakangan menjadi korban salah obat, Yusmaniar datang ke praktik dokter Tengku Abraham. Yusmaniar datang bersama Freddy Harry.
Setelah menerima resep dari dokter tersebut, Yusmaniar dan Freddy mendatangi Apokek Istana 1 di Jalan Iskandar Muda, Medan, untuk membeli dan menebus resep sesuai yang diberikan dokter tersebut. Setelah mendapat obat, Yusmaniar dan Freddy pulang.
“Saksi korban Yusmaniar meminum obat tersebut dan pada tanggal 13 Desember 2018 kondisi saksi korban Yusmaniar masih kurang sehat kemudian saksi korban Yusmaniar menyuruh Freddy untuk membeli obat di Apotek Istana 1 dengan resep yang sama pada tanggal 6 November 2018,” ujar jaksa.
Setelah membeli obat, Freedy pulang dan menyerahkan obat ke Yusmaniar. Jaksa mengatakan Yusmaniar meminum obat yang dibeli Freddy dan mengalami sakit 3 hari kemudian.
“Lalu saksi korban Yusmaniar berobat ke rumah sakit umum Materna di Jalan Teuku Umar Medan Petisah dari pihak rumah sakit memberikan obat setelah sampai di rumah saksi korban Yusmaniar meminum obat tersebut dan tidak berapa lama saksi korban Yusmaniar tidak sadarkan diri sehingga saksi korban Yusmaniar dibawa ke rumah sakit Royal Prima dan masuk ke dalam ruang ICU untuk perawatan,” ucap jaksa.
Namun, Yusmaniar dipindah ke RS Materna karena ruang ICU di RS Royal Prima penuh. Pihak RS kemudian meminta keluarga membawa obat-obatan yang dikonsumsi oleh Yusmaniar.
“Pihak rumah sakit umum menyimpulkan bahwa penyebab saksi korban Yusmaniar kondisi tidak sadarkan diri karena meminum obat yang tidak dideritanya obat yang dibeli dan diberikan oleh pihak Apotek Istana 1 ada yang tidak sesuai selanjutnya saksi Fitri Octavia Pulungan Noya menghubungi dokter Tengku Abraham untuk menanyakan lima jenis obat, yaitu Diovan, NA Diclofenac, Osteocal, Amaryl M2 dan Betason-N Cream,” ujar jaksa.
Dokter tersebut kemudian menjelaskan nama-nama obat yang dituliskan pada resep yang diberinya. Dari keterangan dokter tersebut, ada obat yang tidak sesuai dengan tulisannya yang diberikan Apotek Istana 1, yakni Amaryl M2.
“Sedangkan dokter Tengku Abraham memberikan resep yang tulis dengan jelas dan lengkap Methyl Prednisolon kepada saksi korban Yusmaniar sehingga saksi korban Yusmaniar mengalami penurunan kesadaran, kejang, muntah, sesak,” ujar jaksa.
Singkat cerita, kasus ini masuk ke ranah hukum dan kedua apoteker itu disidang. Jaksa kemudian menuntut keduanya dihukum 2 tahun penjara. Menurut jaksa, keduanya bersalah melanggar Pasal 360 ayat (1) Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
“Kedua terdakwa dibebaskan dari dakwaan penuntut umum,” ujar Humas PN Medan, Immanuel Tarigan.
Pengacara kedua terdakwa, Maswan Tambak, mengaku bersyukur kliennya divonis bebas. Dia kemudian memberi penjelasan soal awal mula kasus ini terjadi.
Maswan mengatakan Sukma dan Okta belum bekerja saat Yusmaniar dan Freddy membeli obat pada 6 November 2018. Dia mengatakan Sukma sudah bekerja pada 3 Desember 2018 dan Okta belum bekerja saat itu.
“3 Desember 2018, terdakwa Sukma Rizkiyanti Hasibuan sudah mulai bekerja namun bukan sebagai karyawan yang melayani pembelian obat korban sedangkan Okta Rina Sari belum masuk bekerja di Apotek Istana 1,” tutur Maswan.
Maswan mengatakan kesalahan pemberian obat itu diduga terjadi karena tulisan pada resep dokter tidak jelas. Menurutnya, karyawan yang melayani penebusan obat di Apotek Istana 1 tak memberi obat yang diragukan antara methyl prednisolon atau amaryl M2 ke korban. Obat tak diberikan karena dokter tidak mengangkat telepon untuk menanyakan apa sebenarnya yang tertulis di resep.
“Pada saat melayani penebusan resep obat, karyawan yang menerima resep kemudian mengambil dan memberi obat kepada korban namun saat itu karyawan tersebut ragu terhadap salah satu tulisan yang terdapat di dalam resep, sehingga menghubungi dokter yang bersangkutan tetapi tidak terhubung maka jenis obat yang diragukan tersebut tidak diberikan dan karena ada keraguan terhadap tulisan resep obat akhirnya resep tersebut dikembalikan kepada korban,” ujar Maswan.
Namun korban menyuruh orang untuk membelikannya obat sesuai resep 6 November, karyawan di Apotek Istana 1 yang melayani, EB, memberikan obat yakni amaryl M2. Padahal, obat tersebut tidak diberikan pada 6 November 2018 karena tulisan dokter meragukan.
“Orang tersebut pergi ke Apotek Istana 1 untuk membeli obat tersebut, pada saat di apotek Istana 1 karyawan yang melayani menerima resep, mengambil serta memberikan obat adalah karyawan lain, EB. setelah beberapa hari mengonsumsi obat yang dibeli dari Apotek Istana 1 pada tanggal 13 Desember 2018, tanggal 15 Desember 2018 korban jatuh sakit,” tuturnya.
“Setelah dilakukan pengecekan diketahui bahwa penyebab jatuh sakitnya korban dikarenakan korban mengonsumsi obat Amaryl M2,” sambung Maswan.
Maswan pun mengapresiasi majelis hakim yang memvonis bebas keduanya. Dia mengatakan, berdasarkan fakta persidangan, kesalahan pemberian obat bukan dilakukan Okta dan Sukma melainkan EB.
“Fakta-fakta persidangan bukanlah kedua terdakwa yang memberikan atau menjual obat pada saat pembelian obat oleh korban melainkan karyawan lain yaitu EB,” ucapnya.***dtc/mpc/bs