Jakarta(MedanPunya) Anjloknya IHSG yang tajam kemarin, kendati kecuraman kurvanya baru tiga kali terjadi dalam sejarah Bursa Efek Indonesia, bisa dikatakan tidak memiliki efek contagion terhadap makro prudensial perekonomian kita. Simpulan ini tentu dengan tidak mengabaikan adanya reaksi negatif pasar terhadap sejumlah kebijakan ekonomi pemerintah plus situasi fiskal yang sedang mengalami konstrain.
Bahkan kalau melihat sumber-sumber utama penurunan itu, sebetulnya tidak perlu membuat kita panik apalagi berkesimpulan keliru terhadap berbagai peristiwa ekonomi belakangan ini.
Keputusan kebijakan ekonomi Presiden Prabowo yang berbau ‘revolusioner’ memang akan mengundang reaksi semacam ini. Saya pribadi sudah mendengar adanya bisik-bisik di market mengenai akan adanya semacam ‘hit’ terhadap sejumlah harga saham blue chip plat biru, terutama perbankan.
Yang mengherankan itu justru reaksi mistifikasi terhadap Menteri Keuangan Sri Mulyani. Seakan-akan keberadaan SMI memiliki hubungan elastisitas dengan keadaan perekonomian kita. Jadi reaksi irasional semacam ini menunjukkan ada yang tidak beres dalam struktur kendali perekonomian nasional. Yang bahkan mengabsahkan pandangan bahwa memang ekonomi kita sudah sekian lama dibajak oleh segelintir orang.
Kalau dibandingkan dengan penurun IHSG yang tajam di masa awal reformasi 98 dan di masa COVID-19, prakondisinya sungguh berbeda. Di tahun 98, akumulasi krisis keuangan dari tahun 97 ditambah gejolak politik besar memang wajar memicu reaksi market. Demikian juga di masa COVID. Dunia memang di masa itu sedang dalam ketidakpastian disebabkan oleh Pandemi yang hampir-hampir menghentikan aktivitas ekonomi.
Jadi santai saja. No exaggeration. Wong pasar saham kita sudah lama decoupling dengan sektor riil dan sektor finansial yang memiliki pengaruh contagion dalam perekonomian kita.
Dan ini sudah terbukti di waktu kita menghadapi kondisi ekonomi yang sulit. Seperti ketika terjadi krisis subprime di Amerika Serikat yang menyebabkan institusi keuangan Amerika yang kuat banyak yang ambruk, yang di masa itu dikhawatirkan akan menjalar efeknya ke dalam perekonomian kita. Faktanya hanya Bank Indover saja dan Bank Century saja yang terdampak.
Bisa dikatakan, peristiwa anjloknya IHSG kemarin secara faktual memang sudah menginsulasi efeknya sendiri hanya di lingkungan terbatas. Sekali lagi, tidak terlihat saluran yang bisa menimbulkan efek contagion. Atau dengan kata lain, ini peristiwa reaktif biasa yang perlu diwaspadai, tapi tidak mengkhawatirkan.
Ceritanya akan menjadi lain manakala sumber anjloknya harga saham itu adalah karena krisis sejumlah perbankan besar nasional. Tapi yang kita lihat hari ini tidak demikian. Perbankan nasional kita tetap solid. Fundamental makro prudensial dari bank-bank besar Indonesia tetap bagus.
Yang perlu direform itu justru OJK yang sudah terlalu banyak bermain-main dan cenderung berpartisipasi dalam menciptakan artifisial bubble dalam struktur harga saham-saham di Indonesia. OJK menjadi terlalu longgar dan makin tidak hati-hati dalam menegakkan regulasi pasar modal yang seharusnya.
Jadi pemerintah tidak perlu menunda apalagi back off dari upaya reformatif mendasarnya untuk menata ulang struktur perekonomian nasional.
Yang diperlukan oleh pemerintah sekarang adalah fokus pada implementasi lanjutan pada paket-paket kebijakan ekonominya yang fundamental. Makin lama proses eksekutorialnya, makin sulit bagi pemerintah untuk mengatasi efek balik yang bisa merugikan.***dtc/mpc/bs