Bucharest(MedanPunya) Dari luar, dengan cerobong asap dan bata merah, gedung itu tampak seperti rumah-rumah lainnya. Tetapi ketika polisi masuk ke suatu rumah di Kota Birmingham tersebut, isinya tidak seperti rumah keluarga pada umumnya.
Di tengah ruangan yang setengah kosong, yang hanya diisi sebuah kasur dan beberapa barang bekas, polisi mendapati empat perempuan muda Rumania yang hanya berpakaian dalam. Mereka cuma bisa sedikit berbahasa Inggris secara patah-patah.
Mainan seks, alat-alat kecantikan, rokok, narkoba, dan kondom terlihat berserakan di sudut-sudut ruangan.
Meski mereka membantah, polisi menduga para perempuan itu adalah korban perdagangan seks anak.
Karena pekerja seks termasuk legal di Inggris, polisi tidak punya pilihan selain mengembalikan para perempuan itu ke tempat mereka ditemukan setelah diinterogasi di suatu tempat aman.
Situasi itu mengkhawatirkan, tetapi sayangnya sudah tidak asing lagi. Di berbagai pelosok Inggris, para perempuan ditahan sebagai budak dan dijual untuk hubungan seksual.
Dari semua yang diduga jadi korban perdagangan seks di Inggris pada tahun 2021, kebanyakan anak muda itu berasal dari Rumania.
Wartawan BBC Jean Mackenzie melakukan perjalanan ke negara Eropa tenggara itu untuk memahami bagaimana gadis-gadis ini berakhir dalam bisnis perdagangan manusia dan prostitusi, dan mengapa mereka sangat enggan untuk menerima bantuan dari polisi saat mencoba menyelamatkan mereka di Inggris.
“Mereka direkrut di halaman sekolah,” ungkap Iana Matei, yang mengelola satu-satunya tempat penampungan anak perempuan yang menjadi korban perdagangan seks di negara itu, kepada BBC.
Tahun lalu tercatat ada 429 korban perdagangan seks di Rumania, menurut sumber-sumber pemerintah. Setengah dari jumlah tersebut adalah anak perempuan.
“Perekrut pergi ke halaman sekolah dan berkata, ‘Kamu cantik, kamu pintar, aku ingin menikahimu.’ Dan mereka mempercayainya. Mereka sudah dicuci otaknya.”
Modus yang biasa dilakukan perekrut kepada korbannya yaitu pertama-tama meyakinkan perempuan yang bersangkutan bahwa dia jatuh cinta kepadanya dan ingin membangun masa depan bersama.
Setelah korban termakan bujuk rayu, perekrut menjeratnya lewat jalur narkoba, alkohol, dan prostitusi.
“Saya punya seorang gadis di sini (Daniella*, 13) yang sangat ingin kembali bersama dengan ‘kekasihnya’ yang berusia 52 tahun.”
“Ketika berhasil melarikan diri, dia [Daniella] berkata ke polisi bahwa dia ingin pergi bersama pria itu. ‘Aku mencintainya,'” kata Matei, yang percaya bahwa perdagangan manusia bukan semata-mata akibat kemiskinan seperti yang dipikirkan banyak orang, tetapi juga dari kurangnya kasih sayang di rumah.
“Jika kekasihnya mengatakan, ‘Aku mencintaimu,’ dan keesokan harinya dia memukulnya sehingga perempuan itu pergi bekerja di jalanan, apa bedanya? Korban sudah dipukul berkali-kali dan sudah sangat dipermalukan.”
“Dia telah melalui semua yang dapat Anda perkirakan, tetapi dia tidak pernah bertemu dengan orang yang sungguh-sungguh menyayanginya,” kata Matei.
Ini menyoroti bahwa belakangan ini makin banyak anak perempuan yang kian muda direkrut, ada yang berusia 12 tahun atau bahkan 10 tahun. Ketika mereka tiba di Inggris, pada usia 18 tahun, lanjut Matei, “itulah satu-satunya kehidupan yang mereka tahu.”
Elena ditelantarkan oleh penyelundupnya di Inggris dan dibiarkan untuk mati setelah dia mengalami pendarahan.
Ketika polisi menemukannya di sebuah apartemen di daerah West Midlands, Inggris bagian tengah, dia segera dipindahkan ke rumah sakit.
Dokter yakin dia tidak punya waktu lebih dari 48 jam untuk tetap hidup. Dia dianiaya sampai menderita luka bakar dan kekurangan gizi.
Sekarang sudah pulih, dia mengaku tidak punya pilihan selain menerima untuk diperdagangkan. “[Penyelundup saya] mengancam akan menyakiti putra saya dan membunuh ibu saya,” kata perempuan muda yang harus meninggalkan anaknya saat baru berusia satu tahun.
Setibanya di Inggris, katanya, mereka menempatkannya di sebuah rumah bersama para perempuan muda lainnya.
“Kami tinggal bertiga. Saya harus melayani beberapa pria setiap hari.”
“Ada antara 10 dan 20 orang. Kadang-kadang saya mendapat sekitar US$ 1.300 [sekitar Rp 18,6 juta] dan saya harus memberikan semuanya.”
Elena, seperti banyak perempuan muda lainnya, dipaksa menawarkan layanannya lewat Internet, di laman yang legal.
“(Kegiatan ini) berpindah dari rumah bordil ke internet,” kata Colin Ward, seorang inspektur polisi di Greater Manchester, barat laut Inggris.
“Kini mereka tinggal di rumah biasa, di mana saja.”
Mereka tidak lagi turun ke jalan untuk mencari klien, sehingga lebih sulit bagi polisi untuk melacak.
“Kami tidak tahu ke mana harus mencari mereka,” tambah Ward, sambil meyakini bahwa bisnis perdagangan seks di Inggris sedang berkembang dan tidak jelas seberapa besar penyebarannya.
Ketidakpercayaan pada polisi
Hampir semua perempuan muda Rumania itu tidak mau menerima bantuan yang ditawarkan oleh polisi Inggris. Ward yakin itu mungkin karena pengalaman mereka dengan polisi di negara asal.
“Saya sudah berkecimpung pada kasus ini selama 14 tahun, dan saya mungkin dapat menghitung dengan jari berapa banyak dari mereka yang mengaku, ‘Ya, saya adalah korban, saya butuh bantuan.’ Itu tidak terjadi,” katanya.
Sebagian penyebab adalah dalam banyak kasus perekrut menjerat korban saat mereka baru berusia 10 tahun dan itu sebabnya banyak yang tidak menyadari bahwa mereka sedang dieksploitasi.
Namun di atas semua itu, kurangnya tindakan dari polisi Rumania yang menimbulkan ketidakpercayaan yang mendalam pada mereka, seperti yang diketahui oleh jurnalis BBC Jean Mackenzie ketika dia berbicara dengan orang tua Andrea*.
Perempuan itu diperdagangkan tidak hanya sekali tetapi sampai dua kali.
“Ketika saya pergi ke polisi, mereka mengatakan kepada saya bahwa tidak ada yang bisa mereka lakukan, bahwa mereka tidak memiliki petugas untuk mencarinya,” kenang ibunya.
Justru dia yang akhirnya menyelamatkan putrinya sendiri dengan menyamar sebagai pengedar narkoba dan membuat kesepakatan dengan pria yang menahan anaknya.
Polisi mengatakan kepada BBC bahwa mereka menyelidiki kasus Andrea dan merujuknya ke unit spesialis.
Namun, itu bukan satu-satunya cerita di mana orang tua melaporkan bahwa polisi menutup mata.
Cosmin Andreica, ketua serikat polisi di Rumania, mengakui bahwa jumlah perempuan muda yang diperdagangkan di negaranya telah meningkat.
“Sistemnya sudah kewalahan,” katanya.
“Kami memiliki lebih dari 100 kasus penghilangan orang setiap hari di sebuah kabupaten, dan kami hanya memiliki antara satu hingga lima petugas polisi yang menyelidiki kasus semacam ini. Tidak mungkin untuk menyelidikinya.”
Tapi tidak hanya itu, masalahnya adalah karena para pedagang menggunakan taktik “sebagai pacar” untuk menarik gadis-gadis itu.
Mereka mengambil kesempatan untuk memanfaatkan celah hukum: ketika seorang anak di bawah umur pergi secara sukarela, polisi tidak dapat memperlakukan situasi itu sebagai kejahatan.
“Negara Rumania tidak peduli dengan kehidupan anak-anak. Itu intinya,” kata Andreica.
Sementara di Inggris, meskipun polisi sudah berupaya, hasilnya jauh dari optimal. Sebagian besar kasusnya tidak sampai ke pengadilan.
Menurut angka resmi, dari 6.000 korban perdagangan seks yang diidentifikasi di negara itu antara April 2018 dan Desember 2020, hanya 95 kasus yang sampai ke pengadilan.
Bagi Matei, satu-satunya cara untuk membawa perubahan adalah membuat kejahatan ini dapat diganjar hukuman yang lebih berat.
“Perdagangan manusia adalah kejahatan terorganisir. Dilihat dari situasi sekarang, untungnya tinggi dan risikonya rendah,” katanya.
“Tetapi jika ingin membalikkan keadaan, memenjarakan para pedagang manusia untuk waktu yang lama dan menyita semua yang mereka miliki, maka kejahatan mereka tidak akan mudah lagi. Mereka akan berpikir dua kali [sebelum melakukannya].”***dtc/mpc/bs