New Delhi(MedanPunya) Fawad bilang dia suka warna hijau. Bocah berusia 12 tahun itu suka sekali memandang rerumputan, daun-daun, dan pepohonan di sekitar masjid tempat dia tadinya tinggal dan bersekolah di ibukota India, Delhi.
Fawad pindah ke sana setelah kedua orang tuanya meninggal dunia dua tahun silam.
Masjid Akhoondji menjadi “rumah baru” bagi Fawad. Bangunan rumah ibadah berusia 600 tahun ini menyatu dengan madrasah. Semuanya serba hijau warna favorit Fawad termasuk balok penyangga, balok penghubung, dan beberapa lengkungan dicat dengan warna yang sama.
Fawad sebelumnya tinggal di luar Delhi. Warna hijau Masjid Akhoondji membuat hatinya tentram karena tiba-tiba harus pindah ke tempat baru. Tetapi kini warna hijau justru membuatnya merasa pedih.
Otoritas Pembangunan Delhi (DDA) badan perencanaan pembangunan perkotaan yang dikelola pemerintah pusat membuldoser masjid tersebut atas tuduhan pembangunan ilegal.
Madrasah yang menjadi tempat tinggal Fawad dan 25 siswa lainnya sebagian besar yatim piatu juga pemakaman di dekatnya dan sebuah makam wali Sufi yang terletak di dalam kompleks masjid juga diratakan dengan tanah.
Terletak di dalam Sanjay Van, hutan seluas 784 hektar yang terbentang di Mehrauli satu dari tujuh kota abad pertengahan Delhi kawasan ini dipenuhi dengan reruntuhan dan monumen yang mengilustrasikan kekayaan sejarah ibu kota India.
Dalam pernyataan resminya, DDA menyebut Masjid Akhoondji sebagai “bangunan ilegal” dan proses penghancurannya mulus “tanpa hambatan dan gangguan”.
Imam masjid Zakir Hussain dan pengacara Shams Khwaja berkata lain.
Menurut mereka, Masjid Akhoondji adalah milik Dewan Wakaf Delhi, yang bertanggung jawab atas pemeliharaan properti Islam di ibu kota.
Hussain mengeklaim otoritas tidak memberikan peringatan tertulis sebelum menghancurkan bangunan masjid. Dia juga menuding salinan-salinan Al-Quran juga hancur akibat dibuldoser.
Anak-anak, sambung dia, tidak diizinkan untuk menyelamatkan barang-barang mereka dan dokumen-dokumen properti yang membuktikan bahwa masjid tidaklah ilegal diambil otoritas.
“Mereka tega menelantarkan kami. Hanya doa yang kami punya sekarang,” ujar Hussain.
DDA menyanggah tuduhan ini dan bersikeras tanah tempat Masjid Akhoondji berdiri adalah milik mereka.
“Kami menemukan beberapa buku saat membersihkan situs dan pengurus masjid sudah meminta untuk mengambilnya dari kami,” Rajeev Kumar Tiwari, komisioner DDA untuk bidang perkebunan, mengatakan.
Kasus ini juga sedang disidangkan Pengadilan Tinggi Delhi. Pada hari Kamis (08/02), pengadilan mengatakan jumlah bangunan di Delhi “cukup” dan ini tidak boleh menghalangi upaya pemulihan hutan kota.
Pengadilan menambahkan bahwa hanya bangunan yang diakui oleh Badan Survei Arkeologi, pengurus situs-situs monumen negara, yang akan dilindungi.
Hari berganti hari setelah Masjid Akhoondji dihancurkan dan otoritas setempat meratakan sejumlah bangunan bersejarah lainnya di Mehrauli. Salah satu yang diratakan konon adalah makam salah satu wali Sufi pertama di Delhi.
Tindakan ini menuai kritik tajam dari para pemerhati sejarah dan pelestari budaya yang menyebutnya “tidak berotak”. Mereka menyebut penghancuran warisan kolektif ini sejatinya menghantam jiwa kota Delhi.
Denyut sejarah terasa di hampir setiap sudut Delhi, kota yang telah melewati bergelombang penaklukan dan perubahan. Masa lalu dan kekinian seolah saling berdampingan.
Satu ketika Anda bisa berada di kawasan trendi yang penuh akan bar dan restoran mewah. Bergeser sedikit saja, Anda langsung melihat monumen atau makam abad ke-12 terselip di antara gang-gang sempit.
“Kekayaan sejarah yang luar biasa telah membantu evolusi kota dan membuat Delhi menjadi unik. Membenturkannya dengan kemajuan atau pembangunan adalah dikotomi yang salah,” ungkap sejarawan Sohail Hashmi.
Para kritikus mempertanyakan logika di balik pelabelan “ilegal” untuk bangunan-bangunan yang umurnya sudah berabad-abad bahkan lebih tua dibandingkan hutan dan habitat di sekitarnya.
Mereka juga menuding rencana pembongkaran secara tidak adil menyasar warisan budaya dan sejarah Muslim. Di antara 20 bangunan agama di Sanjay Van yang rencananya akan dihancurkan DDA, 16 di antaranya adalah makam suci orang Muslim (“mazaars”) dan empat lainnya adalah kuil.
“Jelas-jelas ada pola yang muncul dan ini adalah preseden yang mengkhawatirkan untuk negara yang memperlakukan semua agama secara setara,” lanjut Hashmi.
Di sisi lain, Tiwari mengatakan tindakan “yang sepenuhnya legal” itu tidak perlu dikaitkan dengan agama. Menurut dia, DDA sudah sering menindak pelanggaran di tanah milik negara, termasuk bangunan kuil. Dia menambahkan bahwa DDA membongkar lima kuil di daerah lain pada hari Masjid Akhoondji diratakan.
“Kami sekadar melaksanakan tugas,” ujarnya.
Para korban mengatakan tindakan pembongkaran Masjid Akhoondji tidak diumumkan terlebih dahulu dan prosesnya kacau balau.
BBC berbicara dengan sembilan anak dan mereka semua mengaku mendengar suara gemuruh yang keras saat hendak salat Subuh.
Salah seorang anak, Omar, ingat betul pemandangan lusinan polisi, beberapa buldoser, dan “bapak-bapak sangar yang berteriak menyuruh kami keluar”.
Sang imam, Hussain, bergegas menghampiri mereka. “Lari, lari!” jeritnya. “Ambil barang-barang seadanya dan segera lari!”
Omar cuma sempat menyelamatkan baju hangat dan sepasang sandal. Temannya, Mureed, bahkan tidak sempat mengambil apa-apa dan harus bertelanjang kaki. Lima anak lainnya semua berumur 10 tahun mengaku tidak sempat mengambil jaket atau sepatu.
“Saya beruntung, setidaknya piring saya selamat,” kata Zafar.
“Itu dan tongkat pemukul [untuk kriket] favorit saya.”
Bukan cuma anak-anak yang terpukul.
Hussain, yang tinggal bersama keluarganya di sebuah bangunan kecil dekat masjid, kini juga menjadi tunawisma.
Hussain berkata dia masih mengunjungi tempat itu setiap hari, berupaya supaya bisa sedekat mungkin sebelum dihadang polisi yang menjaga lokasi.
Muzammil Salmani, yang mengajar bahasa Inggris dan Hindi di madrasah, mengatakan pamannya dimakamkan di sebelah masjid. Setelah pembongkaran, mereka hanya menemukan beberapa potongan patah prasasti makamnya.
“Orang-orang tidak paham ini bukan hanya masjid tua, pemakaman, atau madrasah. Ini adalah tempat berlindung,” ujarnya.
Tidak banyak tahu pasti tentang sejarah Masjid Akhoondji sendiri. Ada yang bilang masjid dibangun oleh putri abad ke-13, Razia Sultana, yang dipandang pemimpin Muslim perempuan pertama di subbenua India. Ada pula yang mengatakan Masjid Akhoondji lebih tua daripada itu.
Hashmi mengatakan penggunaan batu abu-abu pada struktur bangunan mengindikasikan masjid dibangun pada periode Kesultanan sekitar 600-700 tahun yang lalu.
Catatan dari Badan Survei Arkeologi India menunjukkan bahwa masjid tersebut diperbaiki sekitar tahun 1853 di bawah pemerintahan kaisar Mughal terakhir, Bahadur Shah Zafar.
Menurut sejarawan Rana Safvi, masjid bahkan mengandung prasasti yang ditulis oleh kaisar sendiri.
Walau sebagian besar bangunan sudah direkonstruksi secara modern, Safvi mengatakan masjid tersebut masih merupakan bagian penting dari sejarah yang layak dilestarikan.
“Bagaimana mungkin masjid yang penting bagi kaisar Mughal terakhir bisa dianggap tidak signifikan?” ujar Safvi.
Namun, DDA mengaku tidak memiliki catatan sejarah masjid tersebut.
“Saya baru tahu bahwa para sejarawan membuat klaim [sejarah masjid] setelah pembongkaran,” kata Tiwari.
Dia menambahkan bahwa “struktur bangunan [masjid] juga modern dan sama sekali tidak terlihat tua”.
“Kami telah berupaya keras untuk melestarikan monumen yang dideklarasikan memiliki nilai penting bagi negara, tetapi [masjid] ini tidak masuk dalam catatan tersebut,” ucapnya.
Usama, seorang warga lokal, mengatakan bahwa bagi masyarakat Mehrauli, Masjid Akhoondji bukan hanya tempat beribadah, melainkan juga sarana sosial, tempat perlindungan, dan pelarian.
Usama adalah seorang arsitek yang mendokumentasikan sejarah daerah tersebut di waktu luangnya. Dia mengenang masa-masa yang dihabiskannya di masjid untuk merayakan festival bersama anak-anak dan bertemu dengan wisatawan dari seluruh penjuru negeri yang datang untuk beribadah.
“Meskipun berada di dalam hutan, [masjid] menjadi pusat komunitas penting yang menyatukan berbagai orang. Bagi mereka, nilai masjid itu bersifat praktis, bukan hanya historis,” ujarnya.
Pihak berwenang DDA menyatakan pembongkaran dilakukan karena bangunan tersebut didirikan secara ilegal di atas lahan hutan yang berharga.
Sanjay Van, salah satu kawasan hijau terakhir di Delhi, memperoleh status hutan lindung pada tahun 1990-an di tengah meningkatnya kekhawatiran akan urbanisasi. Belakangan, DDA telah memulai berbagai upaya anti-perambahan di kawasan tersebut.
Namun, para sejarawan menunjukkan bahwa Masjid Akhoondji sudah ada jauh sebelum hutan ini mendapatkan status perlindungan, sehingga tidak bisa dianggap sebagai pelanggaran.
Mereka khawatir langkah-langkah tersebut dapat mengancam bangunan lain di Mehrauli yang sangat membutuhkan perawatan.
“Tidak diragukan lagi bahwa hutan itu penting. Namun, tidak boleh ada konflik antara hutan dan bangunan bersejarah di dalamnya; keduanya perlu dilestarikan,” ujar Hashmi.
Pada tahun 2023, DDA di hadapan pengadilan tinggi menyatakan tidak akan merobohkan masjid, makam, dan properti sah lainnya di bawah naungan Dewan Wakaf Delhi di Mehrauli. DDA mengatakan bangunan-bangunan di bawah wewenang dewan tersebut memiliki makna agama.
Minggu lalu, DDA menyatakan pembongkaran Masjid Akhoondji “disetujui” oleh komite agama yang dibentuk untuk menangani kasus semacam itu.
Pihak masjid telah menggugat ini di pengadilan. Mereka menuduh bahwa pihak berwenang mengabaikan putusan pengadilan tahun 2022 yang memerintahkan DDA untuk mengidentifikasi tanah milik Wakaf dan menandainya sebelum melakukan pembongkaran di daerah tersebut.
Pengacara dan aktivis Prashant Bhushan mengatakan bahwa undang-undang yang ada tampaknya diterapkan secara semena-mena dalam kasus ini.
“Bahkan kalaupun DDA menggunakan undang-undang kehutanan, mereka harus terlebih dahulu menentukan hak-hak masyarakat yang tinggal di daerah tersebut,” tegasnya.
Namun, Tiwari mengatakan bahwa tanah tersebut sedari awal adalah milik DDA, sehingga “undang-undang tersebut tidak berlaku” dalam kasus ini.
Kembali ke Fawad, dia sekarang berada di “rumah baru” lagi sebuah masjid lain. Dia gemar bermain kriket bersama teman-temannya di pekarangan.
Fawad suka-suka saja dengan tempat ini, kendati minimnya warna hijau membuat “rumah baru” ini terasa “baru dan asing” baginya.
“Tapi mungkin aku akan menemukan warna favorit baru,” tutur Fawad.
Nama anak-anak sengaja disamarkan untuk melindungi identitas mereka.***dtc/mpc/bs