Jakarta(MedanPunya) Pengadilan Tinggi (PT) Medan, Sumatera Utara memperberat hukuman kepada gembong narkoba Iin Fauza (33) dari penjara seumur hidup menjadi hukuman mati. Majelis tinggi menegaskan hukuman mati tidak melanggar HAM dan ICPPR.
Hal itu tertuang dalam putusan PT Medan yang dikutip dari website Mahkamah Agung (MA), Kamis (11/6). Ayah satu anak itu ditangkap oleh aparat kepolisian pada Oktober 2018.
Saat itu, Fauza mengendarai mobil Xenia BM 1595 QS dan melintas di Jalan Sisingamagaraja, Medan Amplas, Medan. Saat mobil itu akan dihentikan, mobil melaju kencang dan menabrak portal hingga berhenti.
Kemudian turun tiga penumpang dari dalam mobil yaitu Fauza, Irfan Faldi dan Chandra. Ketiganya berusaha melarikan diri tapi berhasil ditangkap tim dari Polda Sumut. Dari dalam mobil didapati dua buah tas yang di dalamnya terdapat 29 kg sabu. Fauza dan Irfan diringkus dan diproses secara hukum. Adapun Chandra kabur.
Pada 20 Juni 2019, Pengadilan Negeri (PN) Medan menjatuhkan hukuman penjara seumur hidup kepada Fauza. Vonis itu di bawah tuntutan jaksa yaitu hukuman mati.
Atas hal itu, jaksa mengajukan banding dengan harapan hukuman Fauza diperberat menjadi hukuman mati. Adapun Fauza berharap sebaliknya karena ia mengaku baru pertama kali mengantarkan narkoba.
“Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa oleh karena itu dengan pidana mati,” ujar majelis tinggi yang diketuai Agustinus Silalahi dengan anggota Sumartono dan Pontas Efendi.
Menurut majelis, hukuman penjara seumur hidup tidak sepadan dengan kejahatan Fauza. Sebab, 20 kg sabu apabila tidak berhasil diungkap keberadaannya oleh anggota Polri, maka dapat disalahgunakan oleh banyak orang dengan cara dikonsumsi.
“Sehingga berpotensi akan mengakibatkan kerusakan fisik maupun mental dari para penggunanya bahkan dampak sampai pada kematian karena over dosis bagi penggunanya. Dengan demikian perbuatan Terdakwa tersebut telah merampas hak asasi orang lain yaitu hak untuk hidup,” ujar majelis dengan suara bulat.
Majelis tinggi juga menegaskan hukuman mati tidak melanggar hak asasi manusia (HAM) serta Konvensi Internasional Hak Sipil dan Politik. Majelis tinggi mengutip Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 2/PUU -V/ 2007 dan Putusan Nomor 3/PUU-V/2007.
“Penjatuhan pidana mati tidak bertentangan dengan hak untuk hidup yang dijamin oleh Undang-Undang Dasar 1945, karena konstitusi Indonesia tidak menganut asas kemutlakan Hak Asasi Manusia (HAM) dalam ketentuan pasal 28 J UUD 1945 yang menyebutkan hak asasi seseorang digunakan dengan harus menghargai dan menghormati hak asasi orang lain demi berlangsungnya ketertiban umum dan keadilan sosial,” papar majelis dengan suara bulat.
Selain itu, dalam ketentuan UU Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang menyatakan pembatasan hak asasi seseorang dengan adanya hak orang lain demi ketertiban umum. Dan selain itu di dalam ketentuan Konvensi Internasional Hak Sipil dan Politik /International Convenant on Civil and Political Right (ICCPR) yang menganjurkan penghapusan hukuman mati, untuk kejahatan yang paling serius masih dimungkinkan pemberlakuan hukuman mati.
“Selain itu Indonesia juga telah meratifikasi Konvensi Internasional Narkotika dan Psikotropika, di mana konvensi tersebut mengamanatkan kepada negara pesertanya untuk memaksimalkan penegakan hukumnya. Dengan demikian apa yang dikemukakan Penuntut Umum dalam tuntutannya tidak cukup alasan dijatuhkan pidana terlalu rendah. Sehingga perlu diubah guna dapat memenuhi rasa keadilan di tengah-tengah masyarakat sekaligus memberikan perlindungan hukum bagi masyarakat bangsa dan Negara,” cetus majelis hakim.
Majelis tinggi juga menilai perbuatan Fauza sangat berpotensi merusak generasi muda sehingga dalam jangka panjang
akan mengganggu stabilitas pertahanan dan keamanan negara. Penyalahgunaan Narkotika secara fisik dapat mengakibatkan gangguan pada sistem syaraf, jantung dan pembuluh darah dapat mengakibatkan kematian.
“Penyalahgunaan Narkotika secara psikis dapat mengakibatkan pengguna lamban bekerja, hilang kepercayaan diri, agitatif, menjadi ganas dan bertingkah laku brutal, sulit berkonsentrasi, menimbulkan perasaan kesal dan tertekan serta cenderung menyakiti diri, merasa tidak aman bahkan dapat memicu bunuh diri,” ujar majelis.
“Penyalahgunaan narkotika terhadap lingkungan sosial dapat menyebabkan gangguan mental, anti sosial dan asusila, merepotkan dan menjadi beban keluarga serta pendidikan menjadi terganggu, akibatnya masa depan menjadi suram,” sambung majelis dalam pertimbangan hukumnya.***dtc/mpc/bs