Jakarta(MedanPunya) Permohonan banding jaksa Yanuar Rheza Mohamad ditolak Pengadilan Tinggi (PT) Jakarta. Mantan Kasie Penyidikan Kejaksaan Tinggi (Kejati) DKI Jakarta itu terbukti memeras saksi kasus korupsi.
Hal itu terungkap dalam putusan PT Jakarta yang dilansir di website-nya, Rabu (25/11). Diceritakan, Yanuar sedang menyidik kasus korupsi di PT DOK dan Perkapalan Kodja Bahari 2012-2017. Penyidikan itu dimulai setelah keluar surat penyidikan pada 26 Juni 2019.
Dalam kasus itu, sejumlah saksi diperiksa penyidik Kejati DKI. Salah satu saksi menghadap Yanuar di ruangannya. Yanuar mengatakan agar saksi selanjutnya akan berurusan dengan jaksa lainnya, Firsto Yan Presanto.
Firsto lalu mengajak saksi ke ruangannya. “Nanti ada orang saya yang akan menghubungi,” kata Firsto ke saksi.
Pada 10 Oktober 2019, Fristo Yan Presanto meminta Cecep Hidayat menemui saksi di sebuah hotel di Kelapa Gading. Cecep meminta saksi menyerahkan uang Rp 2,5 miliar agar kasus tidak diteruskan.
“Ya sudah kalau bapak mau dilanjutkan terserah, kalau mau distop ya terserah bapak juga, silakan bapak pikirkan. Sebab nanti kita akan pertemukan dengan Pak Reza, karena dia yang menentukan, saya ini hanya orang yang disuruh untuk bantu bapak,” kata Cecep.
“Saya tidak bisa putuskan, saya harus bicara dulu sama keluarga saya,” kata saksi.
“Kalau bisa jangan lama-lama ya pak, biar cepat selesai permasalahanya,” sambut Cecep.
Mendengar hal itu saksi ketakutan akan dijadikan tersangka.
Pada 14 Oktober 2019, saksi diajak ke sebuah hotel.
“Sudah segar sekarang, yah dari pada masuk pesantren,” kata jaksa Yanuar.
“Kelihatannya dia hanya sanggup dua,” kata Cecep.
“Kok tidak sama dengan Irianto? Bagaimana kalau Irianto tahu?” tanya jaksa Yanuar.
“Kasus saya tidak sama dengan Irianto, Pak,” jawab saksi.
“Ya sudah begini saya. Pertama satu saja,” kata Cecep.
“Yang satunya lagi saya akan berusaha lagi Pak, mencari pinjaman,” kata saksi.
“Kalau bisa besok Rp 500 juta. Dan yang 500 lagi pada hari Jumat 18 Oktober 2019 dan sisanya diangsur,” kata Cecep.
“Ya sudah, berhubungan saja sama Cecep,” kata Yanuar.
Setelah itu, pertemuan itu bubar. Pada saat keluar, Cecep mendekati saksi.
“Tolong ditepati biar bapak aman,” ujar Cecep.
Saksi khawatir akan dijadikan tersangka. Pada 15 Oktober 2019, saksi mentransfer uang Rp 216 juta ke Cecep dan menyerahkan USD 20 ribu di sebuah hotel di Jakarta.
Cecep kemudian melaporkan ke Yanuar dan menyerahkan uang dari saksi itu. Cecep kemudian diberi Rp 25 juta dari Yanuar.
Tiga hari setelahnya, saksi menyerahkan uang Rp 500 juta kepada Cecep di sebuah hotel di Jakarta. Cecep kemudian menyerahkan telepon ke saksi yang mengatakan atasannya mau bicara.
“Pak, terima kasih. Ini titipannya sudah sampai,” kata Yanuar dari ujung telepon.
Cecep kemudian menerima pembagian Rp 50 juta.
Ternyata oknum kejaksaan tetap memeras saksi. Kala itu saksi sedang di Kanada dan mendapat WhatsApp untuk segera melunasi sisa Rp 1 miliar. Isi WhatsApp bernada ancaman akan dijadikan tersangka.
Yanuar kemudian membuat surat panggilan pemeriksaan ke saksi. Oleh Firsto surat panggilan itu difoto dan dikirim lewat WhatsApp Cecep dan diteruskan ke saksi. Karena takut, saksi menstransfer Rp 50 juta ke Cecep.
Pada 19 November 2019, Cecep mengirim WhatsApp ke saksi. Cecep meminta agar sisa kekurangan uang dibayar tunai.
Pada 22 November 2019, saksi diminta datang ke kantor Kejati DKI. Saksi ditagih membayar sisa Rp 950 juta atau bila tidak kasusnya akan dibuka lagi dan ia jadi tersangka. Saksi tidak punya uang cash dan akhirnya menyerahkan sertifikat apartemen ke oknum kejaksaan.
‘Tawan menawar’ perkara itu berlangsung berkali-kali. Hingga akhirnya Tim PAM SDO Jam Intel Kejaksaan Agung mengamankan para oknum kejaksaan itu pada 2 Desember 2019. Yanuar dkk akhirnya diproses secara hukum.
Yanuar yang biasanya menyidik kasus korupsi, kini gantian yang harus duduk di kursi terdakwa. Pada 9 September 2020, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) menjatuhkan hukuman 2 tahun penjara kepada Yanuar. Vonis itu setengah dari tuntutan jaksa.
Jaksan dan Yanuar sama-sama tidak terima dan mengajukan banding. Apa kata majelis tinggi?
“Menguatkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 22/Pid.Sus-TPK/2020/PN.Jkt.Pst tanggal 9 September 2020, yang dimintakan banding tersebut,” ujar majelis tinggi yang diketuai James Butar-butar dengan anggota Daniel Dalle Pairunan, Achmad Yusak, Rusydi dan Hening Tyastanto.
Putusan itu diketok pada Senin (23/11) kemarin. Namun putusan itu tidak bulat. Hakim Rusydi dan hakim Hening menilai hukuman 2 tahun penjara terlalu ringan. Seharusnya, Yanuar dihukum 8 tahun penjara.
“Terdakwa memang tidak bermaksud untuk menjadikan saksi sebagai tersangka melainkan hanya memberikan ancaman karena apabila terdakwa melakukan expos perkara dan dilanjutkan dengan penetapan tersangka oleh Ketua Kejaksaan Tinggi maka unsur melawan hukum dengan menyalahgunakan kekuasaan berupa meminta uang sebesar dua milyar dan penerimaan uang sebesar senilai satu miliar lima puluh juta rupiah yang dilakukan oleh Terdakwa akan terungkap karena pasti saksi akan menyampaikan pemerasan atas dirinya,” ujar Hening.
Namun suara Rusydi dan Hening kalah dengan 3 hakim lainnya.
Dalam memori bandingnya, pengacara Yanuar pada pokoknya menyatakan bahwa judex factie keliru dalam membuat fakta dari keterangan saksi-saksi, serta berkesimpulan bahwa terdakwa melakukan tindakan tersebut dikarenakan adanya perintah jabatan sebagaimana dimaksud Pasal 51 ayat (1) KUHP.
Tim pengacara Yanuar juga meminta supaya majelis hakim Pengadilan Tinggi DKI Jakarta membebaskan terdakwa dan tahu apabila majelis hakim Pengadilan Tinggi DKI Jakarta berpendapat lain, mohon putusan yang seringan-ringannya.
Di kasus itu, Cecep Hidayat dan Firsto juga dihukum 2 tahun penjara.***dtc/mpc/bs