Jakarta(MedanPunya) Mahkamah Agung (MA) membebaskan dosen Universitas Sumatera Utara (USU) Himma Dewiyana Lubis. Himma didakwa menyebarkan hoax bom Surabaya adalah pengalihan isu #2019 Ganti Presiden.
Kasus bermula saat Himma menulis komentar di akun Facebook-nya. Melalui handphone, dia menulis komentar di rumahnya di Medan Johor, Kota Medan, Sumatera Utara (Sumut), pada Mei 2018.
Sekitar pukul 15.00 WIB, dia menulis status Facebook yang mengomentari kasus bom Surabaya, yaitu:
Skenario pengalihan yang sempurna
#2019GantiPresiden.
Bom Surabaya dilakukan teroris yang menyebabkan sedikitnya 25 orang tewas. Alih-alih memberikan simpati dan empati kepada para korban, dia malah menuding bom itu bagian dari setting pengalihan isu politik. Tak berapa lama Himma ditangkap polisi.
“Saya sangat menyesal, saya hanya mengkopi status orang lain dan menyebarkan kembali. Saya salah dan sangat menyesal,” ujar Himma sambil menangis saat ditangkap aparat dari Polda Sumut.
Himma kemudian duduk di kursi pesakitan. PN Medan menyatakan Himma terbukti menulis ujaran kebencian di status Facebook terkait bom Surabaya. PN Medan hanya menjatuhkan hukuman percobaan, yaitu dengan pidana penjara selama 1 tahun dengan masa percobaan selama 2 tahun.
Di tingkat banding, hukuman Himma diperberat. Pengadilan Tinggi (PT) Medan menyatakan Himma terbukti melanggar UU ITE dan dijatuhi hukuman 1 tahun penjara karena terbukti menyebarkan hoax ‘bom Surabaya pengalihan isu’.
Himma tidak terima dan mengajukan kasasi. Apa kata MA?
“Putusan bebas,” kata juru bicara MA, hakim agung Andi Samsan Nganro, Kamis (17/12).
Duduk sebagai ketua majelis Prof Dr Surya Jaya dengan anggota Sofyan Sitompul dan Brigjen TNI Sugeng Sutrisno. Himma dibebaskan dari seluruh dakwaan jaksa. Alasan majelis membebaskan Himma, yaitu posting-an Himma tidak dapat diartikan/dimaknai sebagai berita, informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan.
“Kata-kalimat #2019GantiPresiden dalam suatu negara demokrasi adalah sah-sah saja dan merupakan hak konstitusional setiap warga masyarakat. Kata-kalimat #2019GantiPresiden masih sesuai dengan konteksnya, yaitu tepat pada tahun 2019 akan ada ajang pesta demokrasi pemilihan umum untuk memilih Presiden dan wakil presiden,” demikian pertimbangan majelis.***dtc/mpc/bs