Balige(MedanPunya) Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) IV Balige Leonardo Sitorus buka suara soal perselisihan kawasan lahan yang diklaim sebagai hutan adat, antara masyarakat Desa Natumingka Kecamatan Borbor, Kabupaten Toba, Sumatera Utara dengan PT Toba Pulp Lestari (PT TPL).
Leonardo menyatakan bahwa secara hukum wilayah Natumingka yang dipermasalahkan masih berada di konsesi Hutan Tanaman Industri (HTI) PT TPL.
Atas status yang disandang tersebut, Leonardo menegaskan PT TPL selaku perusahaan pengelola pemanfaatan hasil hutan diwajibkan untuk melakukan pengawasan dan pengamanan lahan. Sebaliknya, jika tidak melakukan kewajiban tersebut, maka status sebagai pengelola hutan akan dievaluasi.
“Dalam Surat Keputusan Menteri Kehutanan tentang Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) tahun 1984, kawasan ini menjadi kawasan Hutan Produksi. Hal tersebut juga diatur dalam SK Menhut Nomor 44 tahun 2005 yang menyebutkan kawasan tersebut menjadi kawasan hutan lindung,” kata Leonardo, Jumat (28/5).
Leonardo menjelaskan SK Menteri LHK Nomor 44 tahun 2005 kembali direvisi, dan diganti dengan SK Menhut Nomor 579 tahun 2014. Keputusan itu menyebutkan bahwa kawasan tersebut kembali menjadi kawasan Hutan Produksi (HP) tetap, dan dilakukan tapal batas sehingga dikembalikan fungsi awalnya.
Dalam perjalanannya, KLHK kembali mengeluarkan SK Menhut Nomor 1076 tahun 2017 tentang Perkembangan Pengukuhan kawasan Hutan di Provinsi Sumatera Utara. Dalam surat keputusan tersebut dikatakan wilayah Natumingka adalah kawasan Hutan Produksi, sehingga tetap masih dikelola oleh perusahaan (TPL).
“Pemerintah juga mengeluarkan SK Menhut Nomor 8088/Menlhk-PKTI/KUH/PLA.2/11/2019 tentang perkembangan tapal batas kawasan hutan di provinsi Sumatera Utara, yang isinya kawasan Natumingka tetap dalam lahan konsesi TPL dan dibebankan untuk menjaga keamanan dan pengawasan,” papar Leonardo.
Leonardo Sitorus memaparkan pihaknya juga telah melakukan investigasi dan inventarisir terhadap kawasan Natumingka yang diklaim sebagai tanah adat oleh masyarakat. Termasuk keberadaan situs makam, bekas persawahan dan bekas perladangan.
Dari hasil investigasi diketahui bahwa kawasan tersebut adalah wilayah konsesi (HTI) perusahaan. Hasil investigasi dan inventarisir dari KPH IV Balige telah disampaikan melalui surat kepada masyarakat Natumingka, dan ditembuskan ke sejumlah instansi terkait termasuk ke Poles Toba.
Terkait dengan klaim tanah adat di Desa Natumingka, Leonardo merekomendasikan agar masyarakat yang mengklaim harus mengurus klaim hutan adat secara legal formal.
Ketika telah ditetapkan oleh menteri bahwa kawasan tersebut adalah hutan adat, maka masyarakat dapat mengelola kawasan yang dimaksud sebagai hutan adat.
“Atau bila masyarakat mengklaim bahwa lahan tersebut adalah milik keturunan opung (nenek moyang) mereka, maka dapat dilakukan pelepasan kawasan hutan melalui Tanah Objek Reformasi Agraria (TORA) sesuai persyaratan dan undang-udang yang berlaku,” jelas Leonardo.
Selagi belum ada penetapan dari pihak yang berwenang atas status tanah adat, maka status hukum kawasan hutan tersebut adalah hutan produksi tetap yang dibebankan kepada PT TPL sesuai dengan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) HTI TPL.
Untuk mengatasi perselisihan yang terjadi, KPH IV Balige juga memberikan masukan kepada perusahaan dan masyarakat untuk melaksanakan kegiatan kemitraan dengan pola tumpang sari atau sejenisnya yang sesuai dengan peraturan Menteri Kehutanan.
Dalam hal ini, PT TPL melakukan kegiatan sesuai dengan hak serta kewajibannya, melakukan kemitraan dengan masyarakat dengan tidak mengganggu sejumlah situs yang telah diinventarisir oleh pihak KPH IV Balige.
Sebelumnya, lahan di Natumingka sendiri dikabarkan menjadi sengketa antara PT TPL dengan masyarakat sekitar. Masyarakat menilai lahan yang menjadi perselisihan adalah lahan adat milk masyarakat, setidaknya ada 600 hektare luasan lahan yang dipermasalahkan.
Dalam catatan, Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Tano Batak, Roganda Simanjuntak menjelaskan perselisihan antara masyarakat dengan pihak PT TPL sudah lama berlangsung.
Bahkan sepanjang 2020-2021, sekitar 70 warga dilaporkan PT TPL ke polisi. Konflik lahan konsesi TPL pun terjadi di Toba, Simalungun, Taput, Humbahas.
Roganda mengatakan masyarakat sekitar lahan membantah klaim PT TPL bahwa lahan seluas 600 hektare tersebut masuk dalam konsesi PT TPL. Menurut masyarakat, justru lahan tersebut sudah ratusan tahun mereka kelola.
“Masyarakat sudah ratusan tahun menempati lahan itu. Di sana sudah ada 13 generasi. Tapi PT TPL mengklaim itu konsesi mereka. Di wilayah adat itu PT TPL mengklaim 600 hektare sebagai wilayah konsesi,” kata Roganda, Rabu (19/5).
Saking panasnya, bentrokan sempat terjadi beberapa waktu lalu. Dalam bentrokan itu dilaporkan puluhan warga terluka. Dilaporkan, masyarakat dan karyawan PT TPL terlibat bentrok pada hari Selasa, 18 Mei 2021 yang lalu.***dtc/mpc/bs