Tapteng(MedanPunya) Banjir dan longsor telah meluluhlantakkan jalan-jalan utama, persawahan, kebun, hingga ribuan rumah warga di Kabupaten Tapanuli Tengah, Provinsi Sumatera Utara.
Tempat tinggal yang dibangun berpuluh-puluh tahun silam dalam sekejap rusak, bahkan hilang digulung air bercampur tanah dan gelondongan kayu pada Selasa (25/11/2025) lalu.
Peristiwa sore itu sama sekali tidak pernah terpikirkan oleh masyarakat, apalagi sampai menelan korban jiwa.
Musibah tersebut pun benar-benar mengubah banyak hal.
Rutinitas kerja berkebun, mencari sewa dengan angkutan umum, berkumpul di rumah dengan keluarga sudah tidak bisa dilakukan.
Satu bulan seusai banjir dan longsor memporak-porandakan, ribuan warga terdampak masih tinggal di pengungsian.
Ada juga yang memilih menumpang di rumah tetangga.
Masalah baru pun menanti.
Penyintas banjir di Kecamatan Sitahuis, Kabupaten Tapanuli Tengah, kini tidak hanya dibayangi rasa trauma, tetapi juga kekhawatiran dengan masa depan yang tidak ada kepastian.
Rosmayani Situmeang (60) menceritakan saat banjir melanda Desa Rampa, Kecamatan Sitahuis.
Dia berjalan kaki selama 12 jam menuju Kota Sibolga menjemput sembako.
Pertama kejadian, bantuan belum masuk hingga dua pekan lebih sehingga terpaksa menerobos hutan dan mendaki perbukitan karena banyak jalan ambles dan tertutup material tanah serta kayu.
“Dua kali aku ke Sibolga menjemput sembako jalan kaki. Berangkat jam 7 pagi sampai di rumah jam 5 sore. Hujan lagi. Bayangkanlah mendaki gunung, melewati lumpur. Ngerilah,” kata Rosmayani, menyeka air mata saat diwawancarai usai menerima sembako dari relawan, Senin (29/12).
Sepulang dari Sibolga, ia mendapat beras, minyak makan, roti, hingga mi instan.
Dia tidak sendiri, tetapi ramai-ramai bersama warga satu desa.
“Kalau dua orang saya takut. Kami juga takut longsor, hujan, kayak manalah di hutan,” sambung Rosmayani.
Mengingat-ingat itu, Rosmayani mengaku sangat trauma, apalagi saat hujan turun.
Selama bermukim di Desa Rampa, ia belum pernah mengalami hal seburuk itu.
“Belum pernah terjadi. Baru ini. Aku trauma melihat air datang dari jembatan, menutup jalan dan masuk ke rumah. Sedih sekali aku, makan pun sempat tidak bisa. Kalau suamiku pergi ke lapo (warung) aku takut, apalagi kalau hujan. Takut melihat air membawa kayu-kayu,” ucap Rosmayani, sembari menunjukkan lengan tangannya yang merinding.
Bantuan baru mereka dapatkan dari pemerintah yang dikirim melalui jalur udara menggunakan helikopter pada pekan ketiga.
Selain kebutuhan pangan sulit, usaha warga juga terganggu, termasuk bertani dan sopir.
“Sopir kan sama sekali tidak bisa bergerak karena banyak jalan yang rusak,” ujar Novita Purba, yang duduk di sebelah kanan Rosmayani.
Beban trauma juga masih dialami Togi Ida Hutagalung (59).
Warga Desa Bonan Dolok, Kecamatan Sitahuis tersebut belum ingin kembali ke rumahnya sejak banjir bandang melintasi tempat tinggal mereka yang berada di tepi sungai.
“Saya tinggal di rumah sama mamak. Isi rumah, seperti lemari, kulkas rusak. Baju-baju berlumpur. Setiap hari kami cucilah. Saat ini kami trauma, kami belum berencana tinggal di rumah,” kata Togi, saat bercerita di depan rumahnya.
Dia mengatakan kejadian pada pukul tiga sore saat ia duduk di teras.
Ketika itu hujan memang deras sejak pagi.
Ia melihat air itu datang dan pohon-pohon didorong air hingga ada yang tumbang.
“Kutariklah mamak, sampai ke luar. Kami sempat dibawa air beberapa meter. Mamak (97) sempat bilang, ‘biar aja lah aku mati, sangkut kakinya di kabel listrik. Kupanggillah orang, ‘tolong-tolong.’ Datanglah tetangga membantu. Baru di gendonglah mamak,” ucap Togi, sembari memegang bingkisan sembako.
Kemudian, mereka langsung lari melewati bukit karena jalan sudah ditutupi lumpur.
Setibanya di rumah warga, Togi pingsan.
“Aku sempat pingsan. Setelah aku sadar, dibawalah aku ke rumah ito (abang). Di situlah kami mengungsi,” ujarnya, sembari menunjuk rumahnya yang berisi lumpur.
Tidak hanya menyisakan trauma, banjir dan longsor ini pun membuat tetangga Togi Ida kehilangan mata pencaharian.
Dia adalah Cinta Murni Manalu (47). Ia terlihat tetap tegar dan senyum menerima bingkisan dari relawan.
Di tengah keramaian mengambil bantuan, Cinta menyampaikan soal perkebunan karet dan manggisnya habis longsor.
Padahal, itu satu-satunya usaha peninggalan mertuanya yang menjadi penopang keberlanjutan perekonomian keluarga.
Longsor itu membuat ia dan anaknya tidak bisa bekerja dan belum tahu bagaimana ke depannya.
“Mata pencaharian saya sudah tidak ada. Karet saya sekitar 1 hektar habis longsor. Dikelola sejak dulu, dan itulah penghasilan utama. Pohon manggis pun habis. Sampai sekarang belum tahu mau ke mana, pekerjaan belum ada,” ucap Murni, yang suaranya terlihat kebingungan.
Saat ini yang paling butuhkannya adalah pekerjaan agar dapat membiayai keluarga, termasuk anak-anaknya.
Lalu, Elfrida Tanjung (65), warga Desa Simaninggir, Kecamatan Sitahuis, sekarang tinggal di pengungsian sejak rumahnya longsor ke jurang hingga ratusan meter.
“Sejauh ini belum ada bantuan soal rumah dari pemerintah, tetapi kemarin sudah saya laporkan. Maunya dibantulah,” ucap Elfrida, yang berharap bisa merayakan tahun baru bersama anak-anak di rumah.
Dia mengatakan, saat kejadian ia berada di rumah, tetapi ketika mendengar bunyi gemuruh, ia lari bersama anaknya.
Tidak lama berselang rumah mereka yang di tepi jalan lintas Tarutung-Sibolga roboh.
Elfrida tidak tahu dari mana asal suara itu.
“Saya merasa goyanglah tanah itu, larilah kami,” kata Elfrida.***kps/mpc/bs









