Kabul(MedanPunya) Seorang mahasiswi bernama Rada merasa begitu cemas saat bersiap kembali ke kampusnya pada Rabu (2/2) lalu.
Sejak mengambil alih kekuasaan pada Agustus tahun lalu, Taliban melarang perempuan untuk mengikuti pembelajaran di kampus. Larangan itu baru saja mereka cabut.
“Sebenarnya banyak hal yang terasa normal, seperti sebelumnya,” kata Rada, yang terdaftar di sebuah universitas di selatan kota Kandahar.
“Perempuan dan laki-laki berada di kelas yang sama karena universitas kami kecil. Laki-laki duduk di depan dan kami duduk di belakang,” katanya.
“Pagi ini saya merasa sangat cemas. Taliban menjaga gedung ketika kami tiba, tapi mereka tidak mengganggu kami,” ujar Rada.
Para pejabat Afganistan menyebut universitas negeri di enam provinsi, yaitu Laghman, Nangarhar, Kandahar, Nimroz, Farah, dan Helmand, telah memulai kembali perkuliahan. Suhu udara di enam provinsi itu kini relatlif hangat.
Sementara itu, perguruan tinggi di daerah yang lebih dingin, termasuk Kabul, diperkirakan baru akan kembali beraktivitas pada akhir Februari mendatang.
“Setelah berbulan-bulan tinggal di rumah, ini memang kabar baik,” kata Hoda, seorang mahasiswi yang berharap untuk melanjutkan kuliah ilmu teknik sipil di Kabul.
“Tapi saya tahu banyak dosen telah meninggalkan Afghanistan,” kata dia.
Taliban membuat pernyataan bahwa mereka tidak keberatan terhadap hak perempuan atas pendidikan. Walau begitu mereka belum secara resmi mengumumkan rencana itu terhadap para mahasiswi.
Sejumlah pejabat di bidang pendidikan berencana membagi kelas berdasarkan jenis kelamin. Mereka juga ingin membuat kurikulum yang berdasarkan prinsip-prinsip Islam. Mahasiswi akan diwajibkan memakai jilbab.
“Pendidikan bersama bertentangan dengan ajaran Islam dan nilai-nilai nasional,” kata Menteri Pendidikan Tinggi Taliban, Abdul Baqi Haqqani, dalam konferensi pers September 2021.
Sejak berkuasa Agustus lalu, Taliban memberlakukan aturan ketat dalam kehidupan sehari-hari masyarakat negara itu. Banyak aturan dibuat khusus untuk perempuan.
Anak perempuan dilarang mengenyam pendidikan menengah. Taliban juga membubarkan kementerian urusan perempuan. Dalam banyak kasus perempuan tidak diizinkan bekerja.
Perempuan juga diinstruksikan untuk mengenakan jilbab, meski Taliban berhenti mewajibkan burqa seperti yang mereka terapkan saat menguasai Afganistan pada dekade 1990-an.
Selama periode pertama pemerintahan Taliban, antara tahun 1996 hingga 2001, perempuan dilarang mengenyam pendidikan.
Jadi meski beberapa universitas sekarang kembali menerima mahasiswi yang telah terdaftar sebelum Agustus 2021, perjalanan menuju pendidikan tinggi masih terlihat tidak pasti bagi banyak perempuan.
“Mimpi saya adalah masuk universitas dan menjadi dokter,” kata murid kelas 11 dari provinsi Takhar, Mahvash.
“Setelah mendengar Taliban mengizinkan perempuan masuk universitas, saya sangat berharap mereka mengizinkan kami melanjutkan pendidikan kami di sekolah menengah dan kemudian perguruan tinggi,” ujarnya.
Selasa lalu, Misi Bantuan PBB di Afghanistan menyatakan menyambut baik langkah Taliban membuka kembali universitas negeri.
“Sangat penting bahwa setiap orang muda memiliki akses yang sama terhadap pendidikan,” begitu pernyataan mereka lewawt akun Twitter.
Seorang mahasiswa kedokteran tahun ketiga di Herat berkata kepada BBC, meski telah diizinkan untuk kembali belajar, pendidikan mereka tetap dibatasi.
Dia diberitahu hanya bisa berada di kampus selama empat jam karena sisa waktu operasional dialokasikan untuk mahasiswa laki-laki.
Beberapa mahasiswi juga khawatir Taliban dapat membatasi pendaftaran perempuan untuk sejumlah mata kuliah.
Seorang mahasiswa teknik sipil dari Kabul berkata, dia terkejut ketika baru-baru ini mendengar seorang juru bicara pendidikan Taliban menyatakan perempuan tidak memiliki alasan untuk menjadi politikus atau insinyur.
Pejabat itu berkata, profesi itu adalah tugas laki-laki.
Demikian pula, seorang mahasiswi yang ingin kuliah di Fakultas Seni Universitas Kabul merasa tidak yakin Taliban akan mengizinkan perempuan mengejar gelar seni.
Angela Ghayour, yang mendirikan Sekolah Online Herat yang menyediakan perkuliahan jarak jauh untuk perempuan, juga skeptis dengan pembukaan kembali universitas.
“Saya percaya Taliban akan memasukkan lebih banyak mata pelajaran Syariah dan Islam ke dalam kurikulum. Anak-anak perempuan tidak bisa bermain olahraga lagi, mereka harus lebih banyak memakai pakaian yang menutupi tubuh,” kata Angela.
“Saya yakin pendidikan Taliban tidak akan membiarkan perempuan membuat pilihan bebas mereka sendiri, dan itulah ketakutan terbesar saya. Saya benar-benar takut.
“Seperti sekarang ini, bahkan jika perempuan lulus, mereka tidak dapat memasuki dunia kerja,” ucapnya.
BBC 100 Women berbicara dengan Soraya, seorang lulusan universitas dari Herat, yang mengaku meski telah mendapat gelar sarjana, pembatasan yang berlaku membuatnya kesulitan mendapatkan pekerjaan.
“Saya tidak bisa benar-benar meninggalkan rumah saya. Taliban berkata perempuan tidak boleh bekerja dan hanya bisa bekerja di lingkungan yang seluruhnya perempuan.
“Namun ada sangat sedikit pengaturan kerja di mana Anda tidak akan menemukan laki-laki,” katanya.
Pembukaan kembali universitas negeri terjadi setelah delegasi Taliban mengadakan pembicaraan dengan pejabat Barat di Norwegia pekan lalu.
Pada forum itu, Taliban ditekan untuk meningkatkan hak-hak perempuan demi mendapatkan akses ke lebih banyak bantuan asing dan pencairan aset luar negeri.
Penghentian bantuan telah memperburuk krisis kemanusiaan di Afghanistan. Negara itudihancurkan oleh perang selama beberapa dekade.
PBB memperkirakan, 95% warga Afghanistan tidak memiliki cukup makanan.
Seorang mahasiswa dari sekolah kedokteran di Mazar Sharif berkata kepada BBC bahwa “kembali ke universitas bukan prioritasnya lagi.”
“Kami kelaparan. Ayah saya bekerja untuk pemerintah sebelumnya dan sejak Taliban kembali, dia menganggur dan kami tidak punya makanan untuk dimakan,” tuturnya.
“Jadi jelas ayah tidak mampu membiayai pendidikan saya lagi. Saya perlu membeli buku, pakaian, tapi kami tidak memiliki uang,” kata dia.
Beberapa perempuan lain yang dapat kembali berkuliah mengatakan bahwa mereka memiliki perasaan campur aduk tentang kemajuan nyata yang dapat dicapai.
“Kami telah kehilangan banyak waktu belajar. Walau saya senang Taliban akan membuka kampus lagi, ada aturan baru yang harus kami patuhi selama di universitas,” ucapnya.
“Ada beberapa hal yang saya rasa tidak nyaman, seperti harus memiliki seorang pendamping laki-laki mengantar saya ke kampus,” kata seorang mahasiswi dari Takhar yang akan kembali kuliah pada 27 Februari mendatang.
Pashtana Durrani, pendiri Learn Afghanistan sekaligus mengelola sekolah dan pengajar siswa perempuan dari jarak jauh, membuat keputusan sulit untuk meninggalkan Afghanistan. Dia mengungsi ke Amerika Serikat setelah Taliban berkuasa.
Bagi Durrani, pembukaan kembali kampus untuk perempuan terdengar getir.
“Ini terasa seperti isyarat perdamaian dan kami perlu menyambutnya. Namun sebagai perempuan Afghanistan yang harus meninggalkan negara itu karena universitas saya ditutup, saya juga merasa sakit hati,” ujarnya.
Durrani berkata, banyak rekannya yang terdaftar di perguruan tinggi telah meninggalkan Afghanistan.
“Bahkan jika mereka membuka kembali universitas, negara ini telah terlanjur kehilangan begitu banyak orang baik”.
Sementara itu, Rada ingin kembali fokus pada studinya meski dia tidak yakin apa yang akan terjadi di masa depan untuknya dan teman-temannya.
“Banyak teman sekelas perempuan saya tidak masuk pada hari pertama. Tapi ada harapan bahwa dalam waktu dekat lebih banyak perempuan merasa lebih aman untuk kembali ke kampus,” tuturnya.***dtc/mpc/bs