Yerusalem(MedanPunya) Eks perdana menteri Israel Ehud Olmert mengkritik rencana kota kemanusiaan untuk tujuan relokasi warga Gaza. Ia menyebutnya seperti kamp konsentrasi Nazi.
Di atas reruntuhan Rafah, yang terletak di selatan Gaza, Pemerintah Israel menyebut lokasi tujuan relokasi sebagai “kota kemanusiaan”.
Zona tersebut dirancang untuk warga Gaza yang masuk, tidak akan diizinkan keluar.
Menteri Pertahanan Israel, Israel Katz, telah memerintahkan pembangunan zona itu dipercepat.
Namun, tidak semua tokoh Israel setuju atas rencana relokasi warga Gaza tersebut.
Mantan perdana menteri Israel, Ehud Olmert, dengan berani melabeli rencana ini sebagai pembentukan “kamp konsentrasi”.
“Jika mereka (orang Palestina) akan dideportasi ke kota kemanusiaan baru, maka Anda bisa mengatakan bahwa ini merupakan bagian dari pembersihan etnis,” kata Olmert dalam wawancara dengan The Guardian pada Minggu (14/7).
Olmert menilai pembangunan kamp tersebut sebagai strategi untuk mendorong dan membuang warga Palestina, bukan menyelamatkan mereka.
“Ketika mereka membangun kamp di mana mereka (berencana) untuk ‘membersihkan’ lebih dari setengah (warga) Gaza, maka penafsiran yang tak terhindarkan dari strategi ini adalah bahwa tujuannya bukan untuk menyelamatkan (Palestina),” ungkapnya.
Pernyataan Olmert ini mengejutkan banyak pihak di Israel, mengingat perbandingan dengan kamp konsentrasi Nazi selama ini dianggap tabu.
Olmert sebelumnya memang dikenal sebagai salah satu kritikus keras kebijakan militer Israel di Gaza.
Pada Mei lalu, ia bahkan menyatakan sudah tidak bisa membela Israel dari tuduhan kejahatan perang.
Selain Olmert, Yair Lapid, pemimpin oposisi Israel, juga mengecam rencana ini.
Lapid menuding Perdana Menteri Benjamin Netanyahu hanya ingin memuaskan mitra koalisinya dari kelompok ekstrem kanan agar tetap mempertahankan kekuasaan.
Melalui media sosial, Lapid mendesak, “Akhiri perang dan bawa pulang sandera.”
Pengacara hak asasi manusia Israel, Michael Sfard, menilai rencana relokasi warga Palestina ke kota kemanusiaan baru setara dengan pemindahan paksa penduduk, yang menurut hukum internasional merupakan kejahatan perang.
Sfard bahkan menyebut bahwa jika pemindahan dilakukan secara massal, hal itu dapat dikategorikan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan.
“Jika dilakukan secara massal, seluruh komunitas, hal itu dapat dianggap sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan,” ujarnya.
Sfard juga menolak anggapan bahwa warga Palestina akan pergi secara sukarela.
Terkait munculnya kritik internal di atas, khususnya dari Olmert, Kantor Perdana Menteri Israel menyebutnya sebagai penjahat yang mencemarkan nama Israel.
Kantor tersebut membela kebijakan mereka dengan mengatakan, “Kami mengevakuasi warga sipil. Hamas menghalangi mereka. Dia menyebut itu kejahatan perang?”
Perlu diketahui, sejak perang di Gaza pecah, Kementerian Kesehatan Palestina mencatat lebih dari 58.000 orang tewas.***kps/mpc/bs