Washington(MedanPunya) Presiden AS Donald Trump mengancam bakal mengerahkan pasukan keamanan ke kota yang “dikuasai” oposisi Demokrat. Pernyataan itu disampaiakn di tengah upaya pemerintah menangani demonstrasi anti-rasisme, dengan ucapan sang presiden menuai sorotan.
Pekan lalu, Kementerian Keamanan Dalam Negeri (DHS) mengerahkan polisi Patroli Perbatasan dan marshal ke Portland, dengan banyak yang mengerahkan seragam tempur.
DHS berencana untuk memberangkatkan sekitar 150 personel paramiliter ke Chicago, setelah polisi terlibat bentrok dengan pendemo yang ingin menurunkan patung Christopher Columbus.
Berdasarkan laporan media lokal, secara terpisah sebanyak 63 orang ditembak dengan 12 orang tewas karena kekerasan dengan senjata api.
“Kami juga tengah memperhatikan Chicago. Kami juga mengawasi New York,” jelas presiden berusia 74 tahun kepada awak media.
“Lihat apa yang terjadi. Semuanya dikuasai Demokrat. Kota itu dikuasai Demokrat yang liberal, radikal sayap kiri. Kami tak bisa membiarkannya terjadi,” kecamnya.
Dari ucapannya bahwa mereka tidak akan meninggalkan New York hingga Baltimore, dia mengancam mengerahkan pasukan keamanan di kota yang dikuasai oposisi.
“Saya akan melakukan sesuatu. Itu yang bisa saya katakan. Karena kami tak akan meninggalkan New York, Chicago, Detroit, dan Baltimore,” janjinya.
DHS menekankan bahwa mereka tidak akan mengomentari jika ada operasi yang dianggap bocor.
Meski tidak akan berkomentar, sebelumnya Penjabat Menteri Keamanan Dalam Negeri, Chad Wolf menyatakan mereka akan tetap masuk ke setiap wilayah di AS.
Dalam wawancaranya dengan Fox News, Wolf menegaskan jajarannya tak butuh menunggu permintaan dari wali kota hingga gubernur negara bagian untuk bertindak.
“Kami akan melakukannya (pengerahan pasukan keamanan). Entah mereka menyukainya atau tidak,” tegas Wolf dalam wawancara.
Keputusan presiden dari Partai Republik untuk menempatkan kekuatan pemerintah federal menuai kemarahan sekaligus argumentasi dasar hukum.
Sejak kematian George Floyd, seorang pria Afro-Amerika di Minneapolis 25 Mei lalu, AS diguncang aksi protes menentang rasisme dan kebrutalan polisi.
Sejak aksi protes terjadi, presiden ke-45 dalam sejarah AS itu melabeli demonstran dengan sebutan sayap kiri radikal yang berniat menghancurkan negara.
Kubu Demokrat sendiri menuding Trump memanfaatkan aksi tersebut untuk menggalang dukungan bagi mereka yang memihak konservatif.
Pekan lalu, Wolf menerangkan keberadaan agen federal di Negara Bagian Oregon, tempat Portland berada, untuk menangkal “tindakan anarkis”.
Tetapi dia juga menuding para pendemo melakukan aksi yang masuk kejahatan minor. Seperti memecahkan kaca atau merusak kantor pemerintah.
Setelah pasukan yang dikirim DHS sampai, video pun menyebar yang memperlihatkan mereka membawa sebagian pendemo di kendaraan yang tak ditandai.
Pemerintah Oregon maupun senator menyebut mereka sebagia “polisi rahasia” yang melakukan aksi represif kepada masyarakat sekitar.
Oregon kemudian menuntut DHS atas pelanggaran hak. Sementara Gubernur Kate Brown meminta agar tentara paramiliter ditarik mundur karena hanya dianggap gimmick politik.
Pada Senin, enam wali kota, termasuk di antaranya Atlanta, Washington, Seattle, hingga Kansas City, memberi surat terbuka.
Dalam surat kepada Wolf dan Jaksa Agung Bill Barr, keenam wali kota tersebut menekankan pengerahan keamanan tanpa izin adalah pelanggaran konstitusi.
“Pengerahan pasukan federal di jalanan lingkungan kami tanpa sebelumnya didahului adanya permintaan tidak bisa kami terima,” jelas mereka.
Mereka mengkhawatirkan jika penempatan pihak keamanan dengan kekuatan penuh hanyalah sekadar pencitraan politik untuk menarik dukungan.
Jaksa Agung Michigan, Dana Nessell menuturkan ancaman mengerahkan pasukan juga merupakan bentuk ancaman perdamaian dan hak menggelar demonstrasi.
“Kita adalah negara hukum, dan upaya presiden mengintimidasi masyarakat lewat ancaman kekerasan sangat tidak Amerika,” sesalnya.***kps/mpc/bs