Jakarta(MedanPunya) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat posisi utang pemerintah mencapai 7.496,70 triliun per 31 Oktober 2022. Jumlah utang itu naik Rp 76,23 triliun dari posisi bulan sebelumnya yang sebesar Rp 7.420,47 triliun.
Mengutip buku APBN KiTa edisi November 2022, Senin (28/11), Kemenkeu menyatakan posisi utang pemerintah itu masih dalam rasio yang aman terhadap produk domestik bruto (PDB). Tercatat, rasio utang terhadap PDB sebesar 38,36 persen di Oktober 2022, menurun dari periode sama di tahun lalu yang sebesar 39,96 persen.
Adapun berdasarkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, ditetapkan batas rasio utang pemerintah yakni 60 persen terhadap PDB.
“Rasio utang terhadap PDB dalam batas aman, wajar, serta terkendali diiringi dengan diversifikasi portofolio yang optimal,” tulis Kemenkeu.
Secara rinci, utang pemerintah terdiri dari dua jenis yakni surat berharga negara (SBN) dan pinjaman. Namun, sebagian besar utang pemerintah dalam bentuk SBN dengan porsi 88,97 persen, sementara dalam bentuk pinjaman hanya 11,03 persen.
Pada SBN, tercatat utang pemerintah sebesar Rp 6.670,15 triliun. Jumlah itu mencakup SBN domestik atau berdenominasi rupiah sebesar Rp 5.271,95 triliun, yang terdiri dari Surat Utang Negara (SUN) sebesar Rp 4.278,26 triliun dan Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) sebesar Rp 993,69 triliun.
Selain itu mencakup pula SBN valuta asing (valas) atau berdenominasi dollar AS senilai Rp 1.398,18 triliun, yang terdiri dari SUN sebesar Rp 1.052,34 triliun dan SBSN Rp 345,84 triliun.
Sementara utang pemerintah yang berasal dari pinjaman senilai Rp 826,57 triliun, mencakup pinjaman dalam negeri Rp 16,55 triliun dan pinjaman luar negeri Rp 810,02 triliun.
Adapun untuk pinjaman luar negeri, rinciannya yakni pinjaman bilateral sebesar Rp 263,94 triliun, multirateral sebesar Rp 499,84 triliun, serta comercial banks sebesar Rp 46,25 triliun.
Berdasarkan mata uang, utang pemerintah didominasi oleh mata uang domestik atau rupiah yaitu sebesar 70,54 persen. Kepemilikan investor asing terhadap SBN pun terus menurun sejak 2019 yang mencapai 38,57 persen, menjadi 19,05 persen di akhir 2021, serta per 14 November 2022 menjadi 14 persen.
Menurut Kemenkeu, mayoritas utang dengan denominasi rupiah itu, menjadi salah satu tameng pemerintah dalam menghadapi volatilitas yang tinggi pada mata uang asing dan dampaknya terhadap pembayaran kewajiban utang luar negeri.
Dengan strategi utang yang memprioritaskan penerbitan dalam mata uang rupiah, porsi utang dengan mata uang asing ke depan diperkirakan akan terus menurun dan risiko nilai tukar dapat makin terjaga.
Menurunnya kepemilikan investor asing terhadap SBN juga dinilai menunjukkan upaya pemerintah yang konsisten dalam rangka mencapai kemandirian pembiayaan dan didukung likuiditas domestik yang cukup. Meski demikian, dampak normalisasi kebijakan moneter terhadap pasar SBN tetap masih perlu diwaspadai.
“Pemerintah berkomitmen untuk terus mengelola utang dengan hati-hati. Untuk menjaga akuntabilitas pengelolaan utang, pemerintah akan selalu mengacu kepada peraturan perundangan dalam kerangka pelaksanaan APBN, yang direncanakan bersama DPR, disetujui dan dimonitor oleh DPR, serta diperiksa dan diaudit oleh BPK,” tulis Kemenkeu.***kps/mpc/bs