Jakarta(MedanPunya) Pemerintah berencana menaikkan tarif pajak pertambahan nilai (PPN). Melalui Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan disampaikan kebutuhan pendanaan negara untuk penanganan COVID-19 membutuhkan biaya.
Dirjen Pajak Suryo Utomo mengungkapkan kebutuhan keuangan negara khususnya untuk penanganan kesehatan, perlindungan sosial, pembiayaan korporasi, UMKM dan insentif mengalami perubahan.
“Kenapa kok ada diskusi terkait PPN yang sempat didiskusikan oleh teman-teman wartawan beberapa hari terakhir kemarin, bahwa waktu ke waktu kebutuhan akan uang negara yang dikhususkan untuk penanganan kesehatan, perlindungan sosial, pembiayaan korporasi, UMKM, insentif itu mengalami perubahan,” kata dia kemarin.
Suryo menjelaskan tahun ini anggaran penanganan COVID-19 dan pemulihan ekonomi nasional masih tinggi. Kemudian, dia menyebutkan penerimaan pajak pada 2020 minus 19,7%. Penerimaan kepabeanan dan cukai pun sedikit turun, dan PNBP juga turun. Sementara pemerintah harus memenuhi kebutuhan belanja.
“Namun demikian di sisi sebaliknya belanja negara mengalami peningkatan karena kita memerlukan pengeluaran yang ditujukan untuk penyehatan masyarakat, menjaga masyarakat khususnya di sisi kesehatan. Kemudian yang kedua menjaga supaya ekonominya paling tidak bertahan,” jelas Suryo.
Dalam mempelajari kenaikan PPN tersebut, pihaknya mempelajari praktik yang dilakukan di beberapa negara. Misalnya Arab Saudi yang menaikkan PPN dari 5% menjadi 15% di Juli 2020.
Apa saja skemanya?
Pertama, single tarif PPN. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 tentang PPN dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPnBM), tarif PPN berada direntang 5% hingga 15%.
Kedua, multitarif PPN. Ada beberapa negara yang telah menerapkan skema tersebut. Multitarif artinya tarif PPN berdasarkan barang regular dan barang mewah. Perlu dilakukan revisi terhadap UU 46/2009.
“Yang jelas saat ini kita sedang mendiskusikannya akan seperti apa, tergantung hasil asesmennya apakah single atau multi karena ranahnya di UU,” tambah Suryo.***dtc/mpc/bs