Jakarta(MedanPunya) Rancangan Undang-undang (RUU) Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) selangkah lagi menjadi Undang-undang (UU). RUU ini akan dibawa ke rapat paripurna untuk disahkan.
Dalam draft yang diterima detikcom, RUU ini memuat Program Pengungkapan Sukarela Wajib Pajak yang tertuang dalam Bab V Pasal 5. Sekilas, program ini mirip dengan program pengampunan pajak atau tax amnesty.
Pada Pasal 5 Ayat 1 dijelaskan, wajib pajak dapat mengungkapkan harta bersih yang belum atau kurang diungkapkan dalam surat pernyataan sepanjang Direktur Jenderal Pajak belum menemukan data dan/atau informasi mengenai harta dimaksud.
“Harta bersih sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan nilai harta dikurangi nilai utang sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak,” bunyi Pasal 5 Ayat 2 seperti dikutip, Senin (4/10).
Surat pernyataan yang tersebut ialah sebagaimana yang dimaksud dalam UU Nomor 16 tentang Pengampunan Pajak.
“Harta sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan harta yang diperoleh Wajib Pajak sejak tanggal 1 Januari 1985 sampai dengan tanggal 31 Desember 2015,” bunyi Pasal Ayat 4.
Harta bersih yang dimaksud pada Ayat 1 dianggap sebagai penghasilan tambahan dan dikenai Pajak Penghasilan bersifat final. Pajak Penghasilan yang bersifat final dihitung dengan cara mengkalikan tarif dengan dasar pengenaan pajak.
Tarif itu diatur dalam Pasal 7 dengan ketentuan 6% atas harta bersih yang berada di wilayah Indonesia atau dalam negeri dengan ketentuan diinvestasi sebagaimana diatur dalam RUU ini, dan 8% atas harta bersih berada di dalam negeri dan tidak diinvestasikan.
Lalu, 6% atas harta bersih yang berada di luar wilayah Indonesia atau luar negeri dengan ketentuan dialihkan ke Indonesia serta diinvestasikan sebagaimana ketentuan dalam RUU ini. Kemudian, sebanyak 8% atas harta bersih yang berada di luar negeri dengan ketentuan dialihkan ke dalam wilayah Indonesia tapi tidak diinvestasikan.
Selanjutnya, sebanyak 11% atas harta bersih yang berada di luar negeri dan tidak dialihkan ke dalam wilayah Indonesia.
“Wajib Pajak mengungkapkan harta bersih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) melalui surat pemberitahuan pengungkapan harta dan disampaikan kepada Direktur Jenderal Pajak sejak tanggal 1 Januari 2022 sampai dengan tanggal 30 Juni 2022,” bunyi Pasal 6 Ayat 1.
Pada Pasal 8 Ayat 1 juga dijelaskan, wajib pajak orang pribadi dapat mengungkapkan harta bersih yang (a) diperoleh sejak tanggal 1 Januari 2016 sampai tanggal 31 Desember 2020, (b) masih dimiliki pada tanggal 31 Desember 2020, dan (c) belum dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan orang pribadi Tahun Pajak 2020.
Rincian tarifnya diatur dalam Pasal 9 Ayat 3 sebagai berikut:
a. 12% atas harta bersih yang berada di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, dengan ketentuan diinvestasikan pada:
– kegiatan usaha sektor pengolahan sumber daya alam atau sektor energi terbarukan di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan/atau
-surat berharga negara;
b. 14% atas harta bersih yang berada di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan tidak diiventasikan.
c. 12% atas harta bersih yang berada di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, dengan ketentuan:
-dialihkan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan
-diinvestasikan pada: (a) kegiatan usaha sektor pengolahan sumber daya alam atau sektor energi terbarukan di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan/atau (b) surat berharga negara;
d. 14% atas harta bersih yang berada di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan ketentuan:
-dialihkan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan tidak diinvestasikan.
e. 18% atas harta bersih yang berada di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan tidak dialihkan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Anggota Komisi XI Fraksi PDI Perjuangan Hendrawan Supratikno menjelaskan, RUU ini diharapkan dapat mendorong konsistensi kepatuhan. Dia mengatakan, tanpa kepatuhan membayar pajak, negara sulit memperkirakan penerimaan pajak. Sejalan dengan itu, tanpa penerimaan pajak yang akurat seperti yang direncanakan maka keuangan negara dalam posisi yang rentan.
“Dari sisi lain, ini bisa jg dipandang sebagai kebijakan memperingan beban wajib pajak. Bisa diistilahkan pengampunan pajak (tax amnesty), bisa disebut kebijakan sebelum matahari terbenam (sunset policy),” katanya kepada detikcom.
Menurutnya, membangun sistem perpajakan yang efektif, adil dan transparan semakin mendesak. Apalagi, akumulasi utang mulai mendekati zona yang mengkhawatirkan.
“Kita harus punya solusi di sektor pajak, karena ini penopang terbesar sisi pendapatan negara,” imbuhnya.***dtc/mpc/bs