Jakarta(MedanPunya) Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menegaskan leasing tidak bisa mengambil paksa kendaraan bila debitur keberatan dan melakukan perlawanan. Langkah yang bisa diambil bila itu terjadi maka leasing harus menggugat debitur ke pengadilan negeri hingga memiliki kekuatan hukum tetap.
Hal itu dituangkan dalam putusan MK Nomor 57/PUU-XIX/2021 dalam uji materi UU Fidusia. Putusan serupa sudah pernah diputus dalam dua perkara sebelumnya.
“Pada prinsipnya Mahkamah telah memberikan alternatif (pilihan) jika dalam pelaksanaan eksekusi sertifikat jaminan fidusia apabila berkenaan dengan cidera janji oleh pemberi hak fidusia (debitur) terhadap kreditur masih belum diakui oleh debitur adanya cidera janji (wanprestasi) dan debitur keberatan untuk menyerahkan secara sukarela benda yang menjadi objek dalam perjanjian fidusia, maka penerima hak fidusia (kreditur) tidak boleh melakukan eksekusi sendiri secara paksa, melainkan harus mengajukan permohonan pelaksanaan eksekusi kepada Pengadilan Negeri,” demikian bunyi putusan MK yang dikutip dari websitenya, Kamis (16/12).
“Dengan demikian, permohonan pelaksanaan eksekusi kepada Pengadilan Negeri merupakan alternatif (pilihan) bukan merupakan hal yang bersifat wajib sebagai satu-satunya dalam pelaksanaan eksekusi jaminan fidusia,” sambung putusan MK yang dibacakan Ketua MK Anwar Usman, Rabu (15/12) kemarin.
Menurut MK, apabila eksekusi jaminan fidusia ‘wajib’ dilakukan hanya oleh pengadilan, hal tersebut justru akan menghilangkan sifat dasar dari fidusia itu sendiri yakni adanya sifat “parate eksekusi”. Di mana kreditur atau penerima fidusia dengan kekuasaannya sendiri dapat melakukan penjualan dan atau melelang objek jaminan fidusia.
“Hal tersebut tidak dapat dilepaskan dari sifat objek jaminan fidusia yang berupa benda bergerak sehingga tata cara pelaksanaan eksekusinya bersifat sederhana pula,” beber MK.
Judicial review kali ini diajukan oleh sejumlah mahasiswa Universitas Tirtayasa. Mereka meminta penarikan kendaraan oleh leasing semuanya harus melalui proses pengadilan. MK menilai argumen itu tidak tepat.
“Terlebih apabila yang dimohonkan oleh para Pemohon dikabulkan, hal tersebut justru akan berdampak terhadap menumpuknya jumlah permohonan pelaksanaan eksekusi fidusia kepada pengadilan negeri dan dapat menyebabkan lamanya waktu penyelesaian eksekusi tersebut dan pada akhirnya dapat menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan bagi para pihak. Baik pemberi hak fidusia (debitur) dan penerima hak fidusia (kreditur) yang telah mengikatkan dirinya dalam perjanjian jaminan fidusia,” beber majelis.
Oleh karena itu, tidak terdapat persoalan konstitusionalitas terhadap Penjelasan Pasal 15 ayat (2) UU 42/1999.
“Penjelasan Pasal 15 ayat (2) UU 42/1999 sepanjang frasa ‘kekuatan eksekutorial’ bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai ‘terhadap jaminan fidusia yang tidak ada kesepakatan tentang cidera janji dan debitur keberatan menyerahkan secara sukarela objek yang menjadi jaminan fidusia, maka segala mekanisme dan prosedur hukum dalam pelaksanaan eksekusi Sertifikat Jaminan Fidusia harus dilakukan dan berlaku sama dengan pelaksanaan eksekusi putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap’,” tegas MK.
***dtc/mpc/bs