Paminal Polda Sumut Periksa Semua Penyidik Polsek Helvetia yang Dilapor Ancam Tembak dan Pemerasan

Medan(MedanPunya) Pengamanan Internal (Paminal) Polda Sumut turun ke Polsek Helvetia memeriksa semua penyidik yang dilapor ancam tembak dan peras terduga penadah bernama Ramli alias Kojek.

Menurut Kanit Reskrim Polsek Helvetia, Iptu Theo, pemeriksaan dilakukan pada Rabu (15/12).

“Iya, benar Paminal semalam turun untuk melakukan pemeriksaan,” kata Theo, Kamis (16/12).

Namun, Theo tak menjelaskan lebih lanjut nama-nama penyidik yang diperiksa.

Dia hanya membenarkan, bahwa Paminal Polda Sumut sudah turun melakukan pemeriksaan.

Soal apa hasil pemeriksaan, tidak diketahui pasti.

Kabid Humas Polda Sumut, Kombes Hadi Wahyudi mengatakan bahwa kedatangan Paminal untuk memeriksa jajaran Polsek Helvetia, khususnya penyidik yang dilapor ancam tembak dan peras terduga penadah motor curian bernama Ramli alias Kojek.

“Sekarang masih didalami,” kata Hadi singkat.

Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Medan berkomentar keras terkait kasus ancam tembak dan peras terduga penadah yang dilakukan penyidik Polsek Helvetia.

Menurut LBH Medan, kasus seperti ini sangat mencoreng citra kepolisian.

“Terhadap dugaan pelanggaran yang demikian, lagi lagi kita sangat menyesalkan. Semakin hari, hastag percuma lapor polisi semakin relevan untuk selalu disuarakan,” kata Kepala Divisi Sipil Politik LBH Medan, Maswan Tambak, Rabu (15/12).

Menurutnya, dugaan pelanggaran di kepolisian yang terjadi tak jauh-jauh dari masalah pemerasan, dugaan penyiksaan dan penangkapan serta penahanan unprosedural.

Oleh karena itu, pihaknya meminta supaya jajaran Polda Sumut dan Polrestabes Medan dapat menindak secara hukum.

“Jangan main-main dengan pelanggaran etika profesi kepolisian, karena rohnya kepolisian itu ada di kode etik,” ujarnya.

Semakin tidak beretika seorang anggota Polri, kata Maswan, maka akan semakin buruk citra Polri di masyarakat.

Disebutnya, jika benar tembusan surat perintah penangkapan dan penahanan tersebut tidak segera diberikan dan tidak diterima oleh keluarga, maka penangkapan dianggap cacat prosedur.

Sebab, kata Maswan, untuk penangkapan, sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi No. 3/PUU-XI/2013 dimaknai surat tersebut harus diberikan tidak lebih dari 7 hari.

“Dugaan pemerasan tersebut juga jauh dari nilai etik anggota Polri. Uniknya permintaan tersebut supaya tidak dilakukan penembakan,” bebernya.

Lebih parah lagi, kata Maswan, jika dugaan penyiksaan tersebut benar adanya.

“Tentu tindakan tersebut menciderai rasa adil bagi korban dan keluarga,” sambungnya.

Menurut Maswan, Indonesia sudah meratifikasi konvensi anti penyiksaan, demikian juga Polri yang membuat peraturan Kapolri tentang implementasi hak asasi manusia dalam proses penyidikan.

Seharusnya, lanjut Maswan, melalui dua aturan tersebut anggota Polri harus paham mengamalkannya.

“Jika tidak, Polri dalam beberapa keadaan/permasalahan hukum hanya jadi, tong sampah. Oleh karenanya harus segera ada langkah strategis supaya Polri lebih baik,” tegasnya.

Diketahui, Eva Susmar Munthe, istri terduga penadah menyebut polisi ancam tembak dan peras keluarganya karena kasus ini.

Polisi meminta uang Rp 2 juta, dengan dalih agar suami Eva bernama Ramli alias Kojek tidak ditembak.

Kemudian, polisi juga meminta uang Rp 5 juta untuk menghapus satu kasus yang melibatkan suaminya.***trb/mpc/bs

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Berikan Komentar:
Exit mobile version