Jakarta(MedanPunya) PDIP menyinggung Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai Bapak Bansos Indonesia. Julukan itu disebutkan saat Hasto menjadi saksi penyelenggaraan Pemilihan Umum (Pemilu) 2009.
Hasto awalnya mengatakan perjanjian Batu Tulis antara Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri yang sudah tidak relevan lagi saat ini. Perjanjian itu sudah selesai pada Pemilu 2009 dengan hasil PDIP mengalami kekalahan.
“Tapi kalau prasasti Batu Tulis yang dimaksudkan dalam konteks politik Pak Prabowo-Bu Mega, ya pemilu sudah selesai 2009. Sehingga syarat-syarat untuk menjalankan pemerintahan bersama ketika menang pemilu kan terbukti saat itu kita kalah,” kata Hasto dalam diskusi Para Syndicate, Jumat (28/5).
Dari situ, Hasto lantas mengungkit adanya gugatan terkait suara kemenangan Pemilu 2004 dan 2009 yang penuh manipulasi. Hasto mengaku saat itu menjadi saksi dugaan manipulasi daftar pemilih tetap (DPT).
Menurut Hasto, manipulasi data itu berupa politisasi bantuan sosial (bansos) ala mantan Perdana Menteri Thailand Thaksin Shinawatra. Hal itu membuat SBY mendapatkan julukan ‘Bapak Bansos Indonesia’.
“Meskipun sekarang karena konflik internal Partai Demokrat mulai ada suara-suara yang menggugat bahwa kemenangan Pemilu 2004-2009 ternyata penuh dengan manipulasi. Pada 2009, saya menjadi saksi bagaimana manipulasi DPT itu dilakukan,” ujarnya.
Hasto mengatakan adanya politik bansos itu berdasarkan hasil penelitian Markus Mietzner, yang kini menjadi peneliti politik Australian National University. Penelitian itu mencatat terdapat uang USD 2 miliar dari Juni 2008 hingga Februari 2009 yang dipakai untuk politik bansos.
Politik bansos itu, kata Hasto, ditiru oleh seluruh kepala daerah. Bahkan, menurutnya, kepala daerah berlomba mengadakan bansos sebagai bagian dari politik elektoral.
“Bagaimana politik bansos ala Thaksin itu dilakukan sehingga satu ada yang menjuluki SBY itu ‘Bapak Bansos Indonesia’. Karena memang penelitian Markus Mietzner itu menunjukkan bagaimana dari bulan Juni 2008 sampai Februari 2009 ada dana sebesar USD 2 miliar yang dipakai untuk politik bansos karena meniru strategi Thaksin politic populism,” ucapnya.
“Yang kemudian menyandera APBN kita karena kemudian ditiru oleh seluruh kepala daerah di Indonesia bagaimana berlomba mengadakan bansos sebagai bagian dari politik elektoral, tapi mengandung kerawanan dalam kestabilan fiskal di masa yang akan datang,” lanjut Hasto.
Lebih lanjut, Hasto menilai politik kekuasaan juga dipakai saat itu. Dia lantas mengaitkan hal itu dengan kasus Bank Century.
“Bagaimana politik kekuasaan juga dipakai, bagaimana politik elektoral menggunakan dana yang begitu besar sehingga kasus Bank Century dan sebagainya, nah kita tidak ingin seperti itu. Politik itu menjadikan kekuasaan harus diperoleh dengan cara benar. Kami percaya kepada nilai-nilai bangsa ini kalau kekuasaan tidak diperoleh secara benar akan membawa karma politik berupa kesengsaraan lahir dan batin,” tutur Hasto.
PD Balas dengan Sindiran ‘Madam Bansos’
Elite PD Rachland Nashidik merespons pernyataan Hasto terkait SBY ‘Bapak Bansos’. Rachland menepis anggapan bansos sebagai instrumen elektoral.
Dia menyebut SBY menganggap bansos instrumen kesejahteraan sosial. Rachland lalu menyinggung PDIP ‘Madam Bansos’.
“Saya senang Hasto sebut SBY ‘Bapak Bansos’. Bagi SBY, bansos itu instrumen bagi kesejahteraan sosial karena pasar tak sensitif dengan kemiskinan. Bagi PDIP, bansos justru instrumen elektoral. Tak percaya? Coba Hasto tanya Mensos Juliari atau, bila dicegah KPK, pada Madam Bansos,” kata Rachland, melalui cuitan yang diunggah melalui Twitternya, Jumat (28/5) malam.
Menurutnya Rachland, pernyataan karma politik itu seharusnya disampaikan Hasto kepada rekannya ‘Madam Bansos’ serta kubunya. Bukan malah melempar ke orang lain.
“Sebenarnya bukan urusan kita bila Sekjen PDIP Hasto bermaksud menegur rekan separtainya, yaitu Madam Bansos dan kubunya, bahwa kekuasaan dengan cara salah bisa mengakibatkan karma politik. Korupsi bansos memang sangat hina. Tapi ksatria dong, jangan nampar dengan tangan orang,” ujarnya.***dtc/mpc/bs