Jakarta(MedanPunya) Hakim konstitisi Wahiduddin Adams menilai Presiden Joko Widodo (Jokowi) absurd soal UU KPK. Sebab itu tidak mau menandatangani UU KPK, tapi mau menandatangani peraturan turunan UU KPK.
“Tidak adanya jawaban yang pasti dan meyakinkan mengenai alasan Presiden Joko Widodo yang tidak menandatangani Undang-Undang a quo, sehingga pengesahan Undang-Undang a quo didasarkan pada ketentuan Pasal 20 ayat (5) UUD NRI Tahun 1945,” demikian bunyi dissenting opinion Wahiduddin Adams yang dikutip, Rabu (5/5).
Dalam perkembangannya, meskipun tidak menandatangani Undang-Undang a quo, Presiden Joko Widodo dalam jangka waktu yang relatif cepat menetapkan berbagai peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang a quo. Hal ini sangat jauh berbeda dengan praktik dan konteks beberapa UU sebelumnya yang pengesahannya juga tidak dalam bentuk tanda tangan Presiden di mana pada umumnya Presiden masih memerlukan waktu yang tidak secara segera menetapkan berbagai peraturan pelaksanaan dari suatu undang-undang yang tidak ditandatanganinya.
“Dengan tidak adanya jawaban yang pasti dan meyakinkan mengenai alasan Presiden Joko Widodo yang tidak menandatangani Undang-Undang a quo ini, namun pada sisi lain begitu cepat menetapkan berbagai peraturan pelaksanaan menyebabkan terjadinya absurditas praktik ketatanegaraan dan semakin terpeliharanya praktik pembentukan undang-undang yang tidak didasarkan pada budaya yang membiasakan adanya justifikasi (culture of justification) vide keterangan ahli Susi Dwi Harijanti,” papar Wahiduddin.
Wahiduddins memilih agar menempuh koridor ‘jalan tengah terbaik’ yang saya yakini, yaitu menyatakan bahwa pembentukan undang-undang a quo bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945. Sehingga UU KPK baru tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Alasan pertama, agar pembentuk UU dapat mengulang proses pembentukan undang-undang mengenai KPK dengan cara yang lebih baik, dalam suasana yang lebih tenang, serta dalam jangka waktu yang lebih rasional dan proporsional.
“Pilihan koridor pertama (menguatkan UU KPK baru) tidak mungkin saya lakukan oleh karena begitu terang benderangnya pelanggaran konstitusi yang terjadi dalam Undang-Undang a quo, baik dalam aspek formil maupun beberapa aspek materiil, sedangkan pilihan koridor kedua hanya akan menyebabkan pengaturan mengenai KPK dan pemberantasan tindak pidana korupsi dalam UU Nomor 30/2002 juncto UU Nomor 19/2019 semakin compang-camping dan Mahkamah dapat berpotensi dinilai justru tergelincir berubah fungsi untuk melakukan Legislatory on Governing from the Bench atau bahkan Mahkamah akan dicatat sejarah telah menjadi apa yang dikhawatirkan oleh Richard A Posner (2006) sebagai The Judge as Occasional Legislator dalam bentuk yang paling ekstrem,” papar Wahiduddin.
Dengan memilih koridor ketiga “inkonstitusional secara formil” ketimbang menyatakan bahwa UU a quo inkonstitusional secara materiil, diharapkan dapat menyiratkan pesan konstitusional kepada pembentuk undang-undang dan masyarakat pada umumnya, bahwa secara materiil terdapat pula beberapa gagasan serta materi perubahan yang baik dan konstitusional terhadap KPK dalam Undang-Undang a quo.
“Oleh karena itu, manakala hal tersebut dibentuk dengan cara dan prosedur yang lebih baik dalam suasana yang lebih tenang, serta dalam jangka waktu yang lebih rasional dan proporsional diharapkan dapat terwujud secara kelembagaan KPK yang lebih baik dibandingkan KPK yang didasarkan pada Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,” beber Wahiduddin.
Namun suara Wahiduddin kalah dengan 8 hakim konstitusi lainnya. Sehingga UU KPK baru sah. Siapakah Wahiduddin? Ia menghabiskan kariernya di Kemenkum HAM dengan jabatan terakhir sebagai Dirjen Peraturan Perundangan 2010-2014.
Pada 2017, namanya kembali menghiasi media karena ia setuju agar homoseks dan kumpul kebo menjadi delik pidana. Pendapatnya dituangkan dalam putusan MK tentang judicial review UU KUHP.
“Maraknya perilaku “main hakim sendiri” (eigenrichting) yang selama ini dilakukan masyarakat terhadap pelaku hubungan seksual terlarang (baik dalam bentuk zina, perkosaan, maupun homoseksual) justru terjadi karena nilai agama dan living law masyarakat di Indonesia tidak mendapat tempat yang proporsional dalam sistem hukum (pidana) Indonesia sehingga jika telah terdapat modifikasi norma hukum (legal substance) mengenai hal ini maka diharapkan struktur (legal structure) dan budaya hukum (legal culture) masyarakat Indonesia dalam menyikapi fenomena perbuatan-perbuatan a quo juga dapat berubah menjadi lebih baik,” ujar Wahiduddin.***dtc/mpc/bs