Jakarta(MedanPunya) Anggota Komisi VIII DPR dari F-PDIP, Selly Andriani Gantina, mengusulkan revisi UU Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal. Revisi yang diusulkan berkaitan dengan kerja sama antara Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal Kementerian Agama (BPJPH Kemenag) dan Majelis Ulama Indonesia (MUI).
“Permasalahan BPJPH itu sebenarnya aturan UU Nomor 33/2014 inilah yang membuat mandul BPJPH. Sehingga harus ada revisi UU 33, khususnya mengenai pasal kerja sama antara BPJPH dengan MUI,” kata Selly dalam rapat Komisi VIII dengan BPJPH, Selasa (14/7).
Selly mengusulkan agar dalam UU tersebut kewenangan MUI dalam pemeriksaan halal hanya terbatas pada fatwa. Selly berharap revisi UU JPH bisa membuat kinerja BPJPH lebih maksimal.
“Revisi itu kalau saran saya bahwa untuk mengatur dari mulai pemeriksa halal dan lain-lain sebagainya itu bisa dikerjasamakan oleh BPJPH dengan Lembaga Pemeriksa Halal (LPH), kemudian MUI kita batasi sebagai fatwa MUI-nya saja, sehingga kita tidak harus berdebat lagi kenapa BPJPH sampai saat ini kok tidak bisa bekerja maksimal,” ujarnya.
Sementara itu, anggota Komisi VIII DPR dari F-PKS, Buchori Yusuf, menilai permasalahan sertifikasi halal karena Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) tidak terbentuk di daerah. Buchori juga menyoroti kendala auditor produk halal harus mendapat sertifikasi dari MUI.
“Ini problem yang ada di dalam UU 33/2014 menurut kami memang tidak berdayanya LPH-LPH ini. Padahal LPH-LPH itu juga diperintahkan oleh UU agar terbentuk secara cepat masif sehingga bisa menjadi satu tempat untuk berbagai macam perusahaan maupun UKM dalam mendapatkan sertifikat halal itu secara cepat,” kata Buchori.
Buchori juga menyoroti perizinan produk halal dalam omnibus law yang tengah dibahas. Ia juga menyinggung usulan dari Muhammadiyah usaha mikro bisa mendeklarasikan produk halal di bawah koordinasi agar ormas Islam.
“Yang ada di dalam RUU omnibus law itu yang menjadi menarik adalah pemerintah menawarkan tentang self declaration, artinya orang, pengusaha itu bisa mengaku, men-declare dirinya sendiri, ‘ini barang halal lho’, tanpa melalui pemeriksaan, tanpa verifikasi. Saya juga minta tanggapan Bapak ini bagaimana statusnya seperti itu,” ujar Bucohri.
“Beberapa waktu lalu usulan dari Muhammadiyah usulan yang cukup reasonable, bahwa dikatakan khusus untuk usaha ultra mikro maka mereka diberikan hak untuk self declaration dengan catatan bahwa mereka di bawah koordinasi ormas. Nah ormas itu akan menurunkan yang namanya penyelia halal, dan penyelia halal itu wajib hukumnya kudu muslim, tidak boleh tidak, karena terminologi halal hanya dimiliki umat Islam. Kalau misalnya itu yang diterapkan, saya kira itu bisa menyelamatkan banyak hal,” imbuhnya.
Wakil Ketua Komisi VIII Ace Hasan Syadzily juga menyoroti belum ada progres BPJPH dalam melakukan sertifikasi halal. Ace mempertanyakan mengapa LPH belum berperan aktif dalam proses sertifikasi halal.
“Pada Pasal 67 (UU Nomor 33 Tahun 2014) dijelaskan bahwa kewajiban bersertifikat halal sebagaimana Pasal 4 itu wajib terlaksana sejak 5 tahun UU ini diundangkan. Jadi artinya 2019 sudah seharusnya semua produk yang ada di Indonesia itu memiliki sertifikasi halal. Saya kok tidak melihat ada progres yang akseleratif yang dimiliki oleh BPJPH, yang ada adalah KMA yang justru menetapkan satu-satunya kembali kepada MUI, Pak,” ujar Ace.
“Benar kan, Pak? Ada KMA, satu-satunya loh sekarang ini, menurut KMA itu. Jadi kalau kayak gitu buat apa dong UU ini? Padahal semangat dari UU JPH ini kita buat adalah supaya ada keterlibatan berbagai pihak, termasuk di antaranya LPH-LPH yang ada di Indonesia yang memiliki potensi yang cukup besar itu bisa berpartisipasi aktif sehingga memudahkan masyarakat untuk dapat terlibat di dalam proses sertifikasi halal itu. Sekarang kok jadi mandek?” pungkasnya.***dtc/mpc/bs