MA Akan Kaji Peraturan soal Permohonan Ganti Kelamin Transgender

Jakarta(MedanPunya) Pengadilan Negeri (PN) Wates mengabulkan permohonan transgender, RS (31) menjadi laki-laki atas kemauannya. PN Wates mendasarkan pada prinsip-prinsip HAM, salah satunya Yogyakarta Principle.

Putusan di atas cukup langka karena umumnya pengadilan mengabulkan permohonan ganti kelamin atas dasar ‘penyempurnaan kelamin’, bukan karena ‘kemauan’ pemohon. Untuk menghindari kebebasan penafsiran penetapan tersebut oleh para hakim, Mahkamah Agung (MA) akan melakukan sejumlah langkah.

“Untuk ke depan dan menyikapi perkembangan kebutuhan masyarakat, MA akan mengkaji apakah perlu atau tidak membuat Perma atau Sema untuk mengatur hal-hal yang berkenaan dengan permohonan Transgender tersebut,” kata juru bicara MA, Andi Samsan Nganro, Rabu (19/5).

Meski demikian, MA membolehkan para hakim lain untuk merujuk putusan PN Wates dalam mengadili kasus serupa. Termasuk pertimbangan-pertimbangan yang diketok oleh hakim tunggal Edy Sameaputty itu.

“Bahwa penetapan PN Wates tersebut boleh-boleh saja dirujuk oleh hakim lain apabila menangani permohonan/perkara yang sejenis. Tapi bukan suatu keharusan. Sebab, mencari referensi hukum bagi hakim untuk menguatkan pertimbangan hukumnya merupakan bagian dari independensi hakim,” tutur Andi yang juga Wakil Ketua MA bidang Yudisial itu.

Walaupun boleh dirujuk, putusan PN Wates di kasus tersebut belum bisa disebut yurisprudensi.

“Namun sebuah putusan hakim tingkat pertama ataupun banding yang berkekuatan hukum tetap (BHT) tidak serta merta menjadi yurisprudensi meski putusan itu telah diikuti oleh hakim lain. Karena salah satu syarat putusan hakim BHT yang memuat ‘kaidah hukum’ menjadi yurisprudensi adalah putusan a’quo telah diperiksa atau diputuskan oleh MA,” beber Andi.

MA tidak berkenan mengomentari pendapat hakim tunggal Edy Sameaputty dalam penetapan itu. Di mana Edy Sameaputty mengutip Yogyakarta Principles (Prinsip-Prinsip Yogyakarta). Yaitu sebuah hasil pertemuan 29 ahli Hak Asasi Manusia (HAM) internasional yang diselenggarakan di Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, pada 6-9 November 2006. Mereka sepakat mengadopsi Yogyakarta Principles/Prinsip-Prinsip Yogyakarta tentang Undang-Undang HAM Internasional Terkait dengan Orientasi Seksual dan Identitas Gender.

“Kami membatasi diri untuk tidak menanggapi atau menjawabnya sebab hal itu berkaitan dengan pertimbangan hakim. Kami tidak boleh secara etik mengomentari atau menanggapi putusan sesama hakim,” pungkas Andi.***dtc/mpc/bs

Berikan Komentar:
Exit mobile version