MA Dinilai Naif Sunat Hukuman Fahmi Darmawansyah di Kasus Sel Mewah

Jakarta(MedanPunya) Mahkamah Agung (MA) menyunat hukuman pengusaha kelas kakap, Fahmi Darmawansyah, dari 3,5 tahun penjara menjadi 1,5 tahun penjara. Di mata MA, Fahmi adalah sosok dermawan, yaitu membelikan mobil hingga Louis Vuitton buat Kalapas Sukamiskin sehingga layak diringankan hukumannya. Adilkah?

Menurut pakar hukum Prof Ade Mama Suherman, pengurangan hukuman itu sangat mengusik hati nurani. Apalagi posisi Fahmi Darmawansyah di kasus itu adalah residivis sehingga hukuman seharusnya lebih berat.

“Residivis sebagai pemberat tapi hukum kita simsalabim. Naif MA kalau penilaiannya seperti itu,” kata Ade, Selasa (8/12).

Dalam pertimbangannya, majelis peninjauan kembali (PK) yang diketuai Salman Luthan itu menilai pemberian mobil-tas Louis Vuitton kepada Kalapas Sukamiskin bukanlah suap untuk mendapatkan fasilitas mewah di penjara. Majelis yang beranggotakan Abdul Latief dan Sofyan Sitompul itu menyatakan tidak ada niat jahat dari Fahmi Darmawansyah dan semata-mata adalah kedermawanan dari Fahmi.

“Apakah jika Fahmi tidak sedang jadi warga binaan, apakah dia akan memberi kendaraan pada Kalapas? Gratifikasi jelas,” tegas Dekan FH Universitas Jenderal Soedirman (Unseod) itu.

Ade mengingatkan Lapas Sukamiskin adalah institusi negara. Pemberian dari pihak lain harus jelas dicatatkan sebagai aset negara sebagai hibah atau pembelian.

“Pengadaan kendaraan dinas sudah ada anggarannya setiap instansi pemerintah. Ini merendahkan martabat penegakan hukum dan preseden buruk. Ke depan boleh jadi para warga binaan akan membelikan kendaraan dinas atau aset lain pejabat lapas setempat,” cetus Ade.

Berikut ini pertimbangan lengkap Salman Luthan dkk menyunat hukuman suami Inneke Koesherawati itu:

1. Berbagai fasilitas yang diperoleh Terpidana/Pemohon Peninjauan Kembali (Fahmi, red) termasuk merenovasi kamar (sel) dengan modal yang berasal dari Pemohon yang sebelumnya sudah ada sejak Dedi Handoko menjabat sebagai Kepala Lapas Klas 1 Sukamiskin kemudian diganti oleh Wahid Husen selaku Kepala Lapas sejak bulan Maret 2018 dan Wahid Husen membiarkan hal tersebut terus berlangsung sebagaimana bukti surat PK-15 sampai dengan PK-68 yang seharusnya menjadi tugas dan tanggungjawab Wahid Husen selaku Kepala Lapas karena tidak sesuai dengan ketentuan pembinaan, pengamanan dan pembimbingan warga binaan pemasyarakatan sehingga Pemohon Peninjauan Kembali tidak dapat dipersalahkan memperoleh berbagai fasilitas dalam Lapas yang seharusnya merupakan tugas dan tanggungjawab Wahid Husen selaku Kepala Lapas Klas 1 Sukamiskin.

2. Pemohon kepada Wahid Husen selaku Kepala Lapas dan Pegawai Negeri Sipil atau Penyelenggara Negara yaitu berupa uang servis mobil, uang menjamu tamu Lapas, hadiah ulang tahun berupa tas cluth bag merek Louis Vuitton untuk atasan Wahid Husen, sepasang sepatu sandal merek Kenzo untuk isteri Wahid Husen, yang seluruhnya bernilai Rp 39.500.000 serta sebuah mobil jenis double 4×4 merek Misubishi Triton warna hitam dengan harga Rp 427.000.000 yang diterima Wahid Husen sebagai Kepala Lapas dan sebagai Pegawai Negeri Sipil atau Penyelenggara Negara, pemberian tersebut bukan karena adanya berbagai fasilitas yang telah diperoleh sebelumnya oleh Pemohon sebagai warga binaan, yang bertentangan dengan kewajiban Wahid Husen selaku Kepala Lapas atau dengan kata lain tidak ada hubungan hukum antara pemberian sesuatu oleh Pemohon dengan kewajiban Kepala Lapas untuk berbuat, atau tidak berbuat yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya.

3. Sesuai fakta persidangan berupa keterangan saksi Andri Rahmat, keterangan saksi Wahid Husen dan keterangan Terdakwa yang pada pokoknya bahwa pemberian mobil tersebut bukan dikehendaki (niat jahat) Terpidana/Pemohon untuk mempengaruhi Kepala Lapas agar dapat memperoleh fasilitas dalam Lapas yang bertentangan dengan kewajiban Kepala Lapas akan tetapi melainkan adanya inisiatif pembicaraan antara Andri Rahmat dengan Wahid Husen di ruang kerjanya di lantai 2 Lapas Sukamiskin pada bulan April 2018 yang menghendaki memiliki mobil tersebut dan keesokan harinya Andri Rahmat menyampaikan kepada Pemohon bahwa Wahid Husen meminta mobil Mitsubishi Triton tersebut yang kemudian Pemohon Peninjauan Kembali menyetujuinya untuk membelikan mobil tersebut bukan karena adanya fasilitas yang diperoleh Pemohon melainkan karena sifat kedermawanan Pemohon.

4. Terpidana tidak memiliki niat untuk memperoleh keuntungan ekonomi dari perbuatan tersebut dan karena itu dasar putusan judex facti aquo sangat tidak adil bagi Pemohon, karena warga binaan yang lain juga memperoleh fasilitas hanya diberikan sanksi berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan juncto Permenkumham Nomor 6 Tahun 2013 tentang Tata Tertib Lembaga Pemasyarakatan dan Rumah Tahanan Negara, dengan demikian putusan judex facti aquo telah bertentangan dengan rasa keadilan masyarakat khususnya Pemohon/Terpidana, dibandingkan dengan tingkat kesalahan Pemohon dengan hukuman pidana penjara yang dijatuhkan kepada Pemohon Peninjauan Kembali.

***dtc/mpc/bs

Berikan Komentar:
Exit mobile version