Jakarta(MedanPunya) Mahkamah Agung (MA) di tingkat peninjauan kembali (PK) menyunat hukuman vonis koruptor alat KB di Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), Sudarto (67) dari 10 tahun penjara menjadi 5 tahun penjara. Awalnya, Sudarto dinilai korupsi anggaran Rp 24 miliar, tapi majelis PK menilai Sudarto hanya menikmati Rp 2,3 miliar.
Hal itu tertuang dalam putusan PK Nomor 112 K/Pid.Sus/2020 yang dilansir website MA, Senin (28/12/2020). Kasus bermula saat BKKBN mengadakan proyek alat Keluarga Berencana (KB) tahun anggaran 2013-2014. Ternyata terjadi kebocoran anggaran sehingga para pihak diminta pertanggungjawaban di meja pengadilan. Salah satunya Sudarto.
Pada 2 Maret 2016, PN Jakpus menjatuhkan hukuman kepada Surdarto selama 5 tahun penjara dengan denda Rp 250 juta subdiser 3 bulan kurungan. Sudarto juga wajib mengembalikan uang yang dikorupsinya ke kas negara Rp 27 miliar.
Pada 11 Juli 2016, hukuman Sudarto diperberat Pengadilan Tinggi (PT) Jakarta, yaitu menjadi 8 tahun penjara dengan denda Rp 250 juta subsider 3 bulan kurungan. Adapun hukuman uang pengganti sebesar Rp 27 miliar. Bila tidak, dipidana 2 tahun penjara.
Bagaimana di tingkat kasasi? Pada 18 Januari 2017, hukuman Sudarto digenapkan menjadi 10 tahun penjara dengan dengan Rp 500 juta subsider 6 bulan kurungan. Adapun uang pengganti turun menjadi Rp 24 miliar. Bila tidak mengembalikan Rp 24 miliar, asetnya dirampas. Bila tidak cukup, diganti 5 tahun penjara.
Sudarto tidak tinggal diam. Ia mengajukan PK dan ternyata dikabulkan.
“Menjatuhkan pidana kepada Terpidana oleh karena itu dengan pidana penjara selama 5 tahun dan pidana denda sebesar Rp 200 juta dengan ketentuan apabila pidana denda tersebut tidak dibayar, maka kepada Terpidana dikenakan pidana pengganti berupa pidana kurungan selama 3 bulan,” kata ketua majelis PK, hakim agung Syarifuddin.
Syarifuddin yang kini menjadi Ketua MA itu menyatakan Sudarto telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana perbarengan beberapa korupsi secara bersama-sama.
“Menjatuhkan pidana tambahan kepada Terpidana untuk membayar uang pengganti sebesar Rp 2,3 miliar. Jika Terpidana tidak membayar uang pengganti paling lama dalam waktu 1 bulan sesudah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka harta bendanya dapat disita oleh Jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut, dalam hal Terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti, maka dipidana dengan pidana penjara selama 10 bulan,” ujar majelis yang beranggotakan M Askin dan Eddy Army.
Berikut ini alasan lengkap Syarifuddin dkk menyunat hukuman Sudarto:
1. Pihak yang bertanggungjawab dalam pengadaan barang a quo adalah:
Panitia Pengadaan yang menyeleksi peserta lelang secara administrasi dan mengusulkan kepada Panitia Pelaksana Kegiatan (PPK) yang dapat menolak atau menerima usulan Panitia tersebut;
Panitia Pelaksana Kegiatan yang memutuskan siapa sebagai pemenang lelang;
Panitia Penerimaan Barang yang dapat menolak atau menerima barang hasil lelang yang telah dilakukan;
dan barang terdistribusi sudah sepatutnya dianggap benar oleh karena telah melalui pertimbangan ketiga orang di atas dan faktanya barang IUD Kit itu telah disebarkan kepada para pengguna dan tidak ada yang dikembalikan.
2. Bahwa jika ada kerugian maka pihak yang bertanggungjawab untuk mengganti kerugian adalah mereka yang terlibat langsung dalam pengadaan IUD Kit di BKKBN, dalam hal ini pemenang lelang.
3. Bahwa ketiga perusahaan ini telah menerima pembayaran dari BKKBN, sedangkan Terpidana hanya menerima keuntungan sebesar Rp2.337.664.082,00 sebagai trader atau penjual.
4. Bahwa pihak PT Hakayo Kridanusa dalam hal ini Pemohon Peninjauan Kembali/Terpidana selaku Direktur tidak dapat dimintai pertanggungjawaban, apalagi dikenakan pembayaran ganti kerugian dengan perhitungan total loss sebesar Rp 27.880.618.286 tanpa menghitung nilai barang yang terpakai seperti dalam kasus a quo, padahal barang a quo IUD Kit pengadaannya dilakukan oleh ketiga perusahaan dimaksud dan bukan perusahaan Terpidana yang berada di luar hubungan hukum antara BKKBN dengan penyedia barang, sehingga bertentangan dengan rasa keadilan.
5. Bahwa kesalahan Terpidana dalam bentuk lain yaitu administratif dan bukannya melakukan tindak pidana korupsi seperti yang didakwakan sekarang.
6. Bahwa selanjutnya tentang uang pengganti yang dikenakan terhadap Terpidana berdasarkan putusan Judex Juris juga tidak dapat diterima secara obyektif, oleh karena hubungan hukum yang terjadi adalah antara BKKBN dengan penyedia barang bukan dengan Terpidana, karena Terpidana hanyalah sumber pengambilan barang oleh ketiga perusahaan pemasok ke BKKBN. Selain itu keseluruhan barang dimaksud IUD Kit telah didistribusikan ke berbagai instansi BKKBN dan di berbagai daerah dan tidak ada penolakan. Kalau pun ada penolakan yang harus mengganti adalah pihak penyedia barang langsung yang mengadakan kontrak dengan BKKBN.
7. Keuntungan Terpidana dari perusahaan Terpidana dalam pengadaan barang a quo sejak Tahun Anggaran 2013 sampai dengan Tahun Anggaran 2014 adalah sebesar Rp 2.337.664.082.
8. Bahwa oleh karena itu tidak dapat dibenarkan dan sangat tidak adil jika membebankan uang pengganti sebesar Rp 27.880.618.286 kepada Pemohon Peninjauan Kembali/Terpidana, sedangkan yang menerima uang tersebut adalah pihak penyedia barang yang untuk Tahun Anggaran 2013 dan Tahun Anggaran 2014.
***dtc/mpc/bs