Jakarta(MedanPunya) Pemerintah mengusulkan Pemilu dilakukan pada 15 Mei 2024. Wakil Ketua Komisi II Luqman Hakim khawatir waktu tersebut mepet dengan pelaksanaan Pilkada serentak.
“Kalau coblosan 15 Mei, kapan hasil pemilu ditetapkan? Kapan pendaftaran sengketa hasil pemilu? Berapa lama MK memutus sengketa hasil pemilu? Kapan tahapan Pilkada, terutama untuk pengajuan berkas persyaratan dukungan bakal calon independen kepala daerah ke KPUD? Kapan kesempatan partai politik dan masyarakat melakukan seleksi bakal calon kepala/wakil kepala daerah? Kapan pendaftaran bakal calon kepala/wakil kepala daerah oleh parpol ke KPUD?,” kata Luqman, kepada wartawan, Selasa (28/9).
“Penetapan final Pemilu 2024 merupakan syarat utama bagi partai politik untuk mendaftarkan bakal calon kepala/wakil kepala daerah ke KPUD,” lanjutnya.
Luqman menilai secara rasional pendaftaran calon kepala/wakil kepala daerah ke KPUD sudah harus dilakukan pada Agustus 2024. Sebab, menurut Luqman, coblosan pilkada serentak 2024 menurut UU 10/2016 wajib dilaksanakan pada November 2024.
“Apakah rentang 15 Mei sampai dengan Agustus seluruh masalah yang berkait dengan sengketa dan pengesahan hasil Pemilu 2024 dapat diselesaikan? Mari belajar dari pengalaman! Coblosan Pemilu 2019 dilakukan 17 April 2019, KPU menetapkan rekapitulasi hasil Pemilu tanggal 21 Mei 2019 (butuh waktu 1 bulan lebih 4 hari). Artinya, penetapan rekapitulasi Pemilu 15 Mei akan dilakukan sekitar tanggal 20 Juni 2024,” ujarnya.
“Penyelesaian sengketa hasil pemilu 2019 oleh MK baru rampung 100% bulan Agustus 2019 (sekitar 3 bulan dari penetapan rekapitulasi hasil pemilu, alias 4 bulan setelah coblosan). Ingat, UU yang dipakai dasar Pemilu 2019 dan 2024 sama. Tidak ada perubahan sedikit pun. Artinya, alur dan waktu pemilu 2019 akan berulang pada pemilu 2024,” lanjut Luqman.
Oleh karena itu, dia khawatir, jika pemilu dilakukan pada 15 Mei, akan berdampak pada pilkada serentak. Dia menilai pilkada akan berpotensi gagal.
“Maka, kalau coblosan Pemilu 15 Mei 2024, penyelesaian sengketa pemilu oleh MK akan final pada pertengahan Agustus 2024. Jika ini yang terjadi, kita harus bersiap menghadapi kekacauan tahapan Pilkada 2024 dan sangat mungkin berdampak Pilkada serentak November 2024 gagal dilaksanakan,” ujarnya.
Meski begitu, Luqman mengetahui usulan pemerintah mengadakan pemilu 15 Mei agar penetapan capres-cawapres terpilih tidak terlalu lama dengan masa habis jabatan Jokowi.
“Saya menangkap hanya satu kepentingan utama pemerintah mematok 15 Mei 2024 sebagai hari coblosan Pemilu, yakni agar penetapan pasangan capres-cawapres terpilih tidak terlalu jauh dari habisnya periode Presiden Jokowi 20 Oktober 2024. Sehingga ‘kekuatan dari kekuasaan’ pemerintah sekarang masih kokoh sampai hari-hari akhir masa periode,” ucapnya.
“Nampaknya pemerintah khawatir, jika coblosan dilaksanakan 21 Februari 2024 maka sudah akan ada pasangan capres-cawapres terpilih di sekitar bulan Maret 2021 (dengan asumsi Pilpres hanya 1 putaran). Kehadiran capres-cawapres terpilih, mungkin dianggap akan mengganggu efektifitas pemerintah yang akan berakhir 20 Oktober 2024,” imbuh Luqman.
Lebih lanjut, Luqman menyarankan pertimbangan seperti itu perlu dikesampingkan. Menurutnya, selama capres-cawapres terpilih belum dilantik oleh MPR sebagai Presiden/Wakil Presiden RI 2024-2029, pemerintah yang dipimpin Presiden Jokowi tetap sah dan tidak berkurang sedikit pun kekuasaannya untuk menjalankan berbagai program dan kegiatan.
“Jadi, pertanyaan utama yang sekarang harus dijawab pemerintah, apakah pemerintah serius akan melaksanakan Pemilu dan Pillada serentak tahun 2024 sebagaimana diamanatkan UU 7 Tahun 2017 dan UU 10 Tahun 2016?” ujarnya.
“Saya berharap dan berdoa, semoga simulasi pemerintah yang menginginkan coblosan Pemilu 15 Mei 2024 tidak dijadikan rangkaian strategi oleh pihak tertentu untuk menggagalkan pelaksanaan pemilu dan pilkada serentak 2024. Harapan dan doa saya ini tidaklah berlebihan, karena sudah cukup lama berhembus isu kencang di tengah masyarakat mengenai adanya pihak tertentu yang sedang berusaha memperpanjang masa jabatan Presiden Jokowi hingga 2027 mendatang atau membongkar konstitusi untuk menghapus batasan presiden dua periode,” lanjut Luqman.***dtc/mpc/bs